Dibandingkan dengan usaha biasa, tingkat kegagalan usaha yang dijalankan dengan sistem waralaba maupun kemitraan relatif lebih kecil. Sebab dengan membeli usaha yang diwaralabakan atau dimitrakan, pembeli merek (Terwaralaba/Mitra) tak perlu berdarah-darah memulai usaha dari nol. Melainkan hanya tinggal menjalankan standard operating procedure (SOP) yang telah dibakukan oleh Pewaralaba (pemilik merek).
Namun sayang tak sedikit Terwaralaba yang berpikiran bahwa dengan membeli waralaba dipastikan sukses. Padahal pada kenyataan tak semua Terwaralaba sukses. Banyak Terwaralaba yang usahanya tidak berkembang, mandek, merugi, dan hingga bangkrut.
Menurut Burang Riyadi, Pengamat Waralaba dari Internasional Franchise Business Management (IFBM) mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi pemicu usaha dengan sistem waralaba tidak mampu berkembang atau gagal, yaitu faktor internal seperti manajemen, attitude, dan modal, serta faktor eksternal seperti lingkungan dan pasar yang mulai jenuh, walaupun sebenarnya hal tersebut bisa disebabkan oleh banyak hal, yang mempengaruhinya.
Faktor Internal Terwaralaba
Menurut Burang, dalam usaha waralaba faktor yang paling dominan dan berpengaruh terhadap gagalnya Terwaralaba (Mitra) adalah faktor internal baik yang datang dari pihak Pewaralaba maupun Terwaralaba. Namun hampir di setiap kasus kegagalan usaha milik Terwaralaba banyak yang disebabkan dari Terwaralaba yang tidak proaktif dan tidak siap dengan mental entrepreneur yang harus bekerja keras agar usahanya sukses.
“Tak jarang Terwaralaba berpikir jika mereka hanya bertindak sebagai investor karena merasa sistemnya sudah diatur oleh Pewaralaba,” terang Burang. Terwaralaba sebagai pembeli/penerima waralaba tidak menyadari fungsinya bahwa ia harus ikut bertanggung jawab terhadap bisnisnya sendiri.
Sependapat dengan Burang, Handito Joewono, Pengamat dari Arrbey Strategy and Marketing Consulting Firm mengatakan, kebanyakan kasus gagalnya usaha Terwaralaba karena kesalahan Terwaralaba sendiri. Mengapa demikian? Terkadang Terwaralaba latah dan kurang melakukan market research, serta attitude pemilik usaha yang malas dan tidak mau terlibat atau turun tangan langsung dalam mengelola usahanya sendiri, semuanya diserahkan kepada karyawan yang digaji dan lebih suka mendapat passive income.
Faktor Internal Pewaralaba
Sementara berbeda dengan pendapat sebelumnya, Bambang Wahyupurnomo, pengamat kewirausahaan, berpendapat lain. Menurut Bambang, kegagalan umumnya disebabkan kecepatan pertumbuhan jumlah gerai usaha yang diwaralabakan oleh pihak Pewaralaba yang tidak sebanding dengan pembakuan SOP (Standard Operating Procedure) maupun training-training yang diberikan kepada Terwaralaba dan kesiapan SDM dari Pewaralaba.
Hal ini lantas menimbulkan ketidakseragaman kualitas pelayanan dan mutu produk yang disodorkan ke konsumen, dengan kata lain brand sama, tetapi kualitas berbeda antara yang dijual Pewaralaba dan Terwaralaba. Ekspektasi konsumen yang tinggi, dilayani dengan mutu di bawahnya, tentu mengecewakan bagi konsumen. Alhasil jika demikian realitanya, tentu Terwaralaba yang akan dirugikan, karena konsumen enggan belanja kembali ke gerai Terwaralaba.
Dikatakan Bambang, Pewaralaba sering terburu-buru mewaralabakan usahanya, padahal kemampuan dan jumlah personel Pewaralaba sering tidak seimbang dengan jumlah Terwaralaba yang harus dilayani. Hal ini menyebabkan kontrol Pewaralaba kepada Terwaralaba menjadi sangat lemah, sehingga mengakibatkan ada Gerai yang sukses dan tidak sedikit pula yang ‘gatot’ alias gagal total.
“Usahanya baru teruji berhasil di satu atau dua lokasi sudah diwaralabakan. Padahal belum teruji di beberapa lokasi lain yang demografinya berbeda,” ujar Bambang.
Burang menambahkan memang terkadang ada kemungkinan kegagalan disebabkan oleh ketidakmampuan Pewaralaba men-support Terwaralabanya, terutama mengenai service level dari suplai bahan baku kepada Terwaralaba.
Selain itu, ada pula Pewaralaba yang kurang mampu mengelola manajemen usaha waralabanya secara profesional atau baru saja memulai usaha sudah diwaralabakan, sehingga lemah dalam hal manajemen karena usaha yang ditawarkan belum terbukti menguntungkan.
Faktor Eksternal
Baik Bambang, Burang, maupun Handito sependapat jika selain faktor yang datang dari Terwaralaba dan Pewaralaba bisa saja usaha yang dijalankan gagal karena animo pasar di sekitar lokasi usaha berkurang atau hadirnya kompetitor yang merebut minat konsumen.
Hal tersebut mengakibatkan suplai lebih besar daripada demand, sehingga membuat operating dan production cost lebih besar dari omset pendapatan, akibatnya usaha milik Terwaralaba sulit berkembang apalagi jika Terwaralaba tidak berpromosi atau menjalankan strategi marketing yang menarik dan produk yang dijual tidak berkembang mengikuti tren pasar.
Di samping itu, terkadang media massa juga ikut bertanggung jawab memoles-moles usaha yang diekspos, padahal belum teruji di beberapa lokasi lain yang demografinya berbeda. Dengan adanya pemberitaan tersebut, masyarakat yang nafsu sangat silau melihat berita keuntungan sebuah usaha baru dan ingin segera membuka usaha sejenis atau membeli waralaba tersebut, tapi pada akhirnya berantakan.