Pemasaran buah untuk komoditas ekspor bisa melalui beberapa perusahaan eksportir, yaitu PT Agung Mustika Selaras (Bandengan Utara, Jakarta Barat), PT Masindo Mitra Mandiri (Jl. Nangka Tanjung Barat, Jakarta Selatan), PT Alamanda Sejati Utama dan sebagainya.
Syarat agar buah yang dipasarkan menembus pasar ekspor harus memiliki standar mutu yang sama dengan yang diminta oleh pihak importir. Kedua, harus memenuhi persyaratan GAP (Good Agricultural Practice) atau standar pekerjaan dalam setiap usaha pertanian agar produksi yang dihasilkan memenuhi standar internasional. Lalu yang ketiga tentunya harus memenuhi persyaratan SPS (Sanitary and Phyto-Sanitary).
Tindakan SPS ini adalah tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan hewan atau tanaman dalam wilayah negara anggota dari risiko yang disebabkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit.
Selain itu melindungi kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan dalam wilayah negara anggota dari resiko yang disebabkan oleh bahan tambahan (additives), cemaran, racun atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman, atau bahan pakan ternak.
Ketiga, melindungi kehidupan atau kesehatan manusia dalam wilayah negara anggota dari resiko yang disebabkan oleh penyakit yang dibawa oleh hewan, tanaman atau produknya atau dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, dan mencegah atau membatasi kerusakan lain dalam wilayah anggota yang timbul dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.
Jika pembudidaya buah untuk komoditi ekspor merasa kesulitan menembus pasar ekspor, alternatif lain ada baiknya fokus memproduksi buah kualitas ekspor namun untuk dijual dipasar lokal.
“Harga buah di pasar dalam negeri itu sebenarnya lebih mahal lho dibandingkan buah luar negeri. Kalau mau fokus menyasar pasar lokal saja tapi produknya harus kualitas ekspor,” saran Sobir.
Dari pengalaman para pelaku usaha, pembudidaya buah kualitas ekspor asal Ciamis Jawa Barat, M. Andrean Saeful mengaku mendapatkan keuntungan berlebih dari bisnis budidaya buah orientasi ekspor ini dibandingkan saat ia berjualan buah impor.
Begitu pun dengan Muhamad Hata, pemilik KBU Al-Ihsan yang fokus membudidayakan buah manggis grade super untuk pasar ekspor. Keduanya mampu meraup omset hingga Rp 500 juta per bulan.
Kendala
Meski beberapa komoditas buah sudah melenggang di pasar dunia, nyatanya ada kendala yang mendera produksi buah lokal kita, yakni masalah volume produksi yang masih sedikit. Selain itu fakta bahwa Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas dan subur ternyata kalah jauh dari negara lain dalam produksi buah-buahan unggulan, bahkan turut menyerbu pasar Indonesia.
Data yang ditunjukkan Sobir menyebutkan, pada 2011 Indonesia mengimpor 832.080 ton buah. Sementara itu, nilai ekspornya hanya 223.001 ton. Ada tiga hal yang keliru terkait dengan pola pertanian buah kita. Tiga hal itu meliputi luas tanam buah yang sangat sedikit. Kedua, Indonesia tidak menerapkan pola menanam buah dalam bentuk estate. Ketiga, petani buah di Indonesia tidak bisa membaca perubahan preferensi terhadap buah.
Salah satu langkah yang bisa menjadi solusi berhubungan dengan pola tanam dan konsep estate adalah dengan menggandeng BUMN seperti PTPN (PT Perkebunan Nusantara) untuk menjadi lokomotif dalam melakukan ekspor.
Dengan adanya kerja sama dengan PTPN ini diharapakan bisa mempengaruhi masyarakat untuk semakin tertarik membudidayakan tanaman buah. Sebab keuntungan mengembangkan usaha budidaya buah tropis ternyata jauh lebih besar daripada menanam padi.
Kendala lain, seleksi buah untuk ekspor yang ditentukan eksportir sangat ketat sehingga perlu ketelitian kalangan pembudidaya dalam mensortir buah-buah yang akan dijual. Persyaratan seperti ini membuat para pembudidaya harus ekstra ketat dalam melakukan sortir.
Kalau tidak, tentu saja akan kalah bersaing dengan buah dari negeri lain, apalagi menjelang pemberlakukan perdagangan bebas Asean. Maka dari itu perlu pembinaan terhadap para pembudidaya tanaman buah agar mampu bersaing baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Ketua Umum Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia, Khafid Sirotudin mengatakan, selama ini petani buah dan sayuran tidak memperhatikan pasca panen.
“Saat panen raya dan melimpah harga menjadi jatuh, padahal dengan penanganan lebih baik bisa meningkatkan pendapatan petani,” jelasnya.
Agar bisa membantu para pembudidaya tanaman buah lokal, maka Asosiasi Eksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia bersama Kementrian Pertanian menyalurkan bantuan berupa bibit tanaman unggul.
Selain itu, kendala pelaku ekspor ketika menjual produknya di luar negeri adalah tidak adanya dukungan dalam bentuk promosi.
“Orang Amerika itu promosi habis-habisan ke seluruh dunia bahwa green is fresh Thailand juga mendapatkan dukungan dari pemerintahnya sehingga buah asal Thailand ada dimana-mana, seperti di swalayan-swalayan buah banyak terpampang buah asal Thailand. Nah, Indonesia belum punya sistem seperti itu. Kita nggak punya uang untuk promosi di luar negeri,” ungkap Sobir.