Top Mortar tkdn
Home Bisnis Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat, Greenpeace: Ini Ancaman Serius bagi Ekosistem

Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat, Greenpeace: Ini Ancaman Serius bagi Ekosistem

0
Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat, Greenpeace: Ini Ancaman Serius bagi Ekosistem (Foto Ilustrasi, Raja Ampat)

Polemik terkait keberadaan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali mencuat ke publik setelah laporan Greenpeace Indonesia mengungkap adanya aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil kawasan tersebut. Temuan ini memantik keprihatinan berbagai pihak mengingat Raja Ampat selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.

Dalam laporannya, Greenpeace menyebut bahwa izin tambang telah diberikan sejak 2017 untuk sejumlah perusahaan, yang kini mulai beroperasi di beberapa pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat. Keberadaan tambang tersebut dikhawatirkan akan merusak ekosistem yang rentan dan berdampak jangka panjang pada pariwisata serta kehidupan masyarakat adat di sekitar lokasi.

“Pulau-pulau kecil di Raja Ampat tidak hanya penting dari sisi ekologi, tetapi juga menjadi tumpuan ekonomi masyarakat melalui pariwisata berbasis alam. Kehadiran tambang di wilayah ini merupakan ancaman serius,” ujar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia.

Pemerintah dan Aktivis Berseberangan Soal Lokasi Tambang

Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, dalam keterangannya menyatakan bahwa lokasi tambang berada jauh dari kawasan wisata utama Raja Ampat. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Greenpeace yang menyebut bahwa seluruh gugusan pulau di Raja Ampat merupakan satu kesatuan ekosistem yang saling terhubung, sehingga kerusakan di satu titik dapat berimbas luas.

“Pernyataan bahwa tambang jauh dari zona wisata keliru. Gugusan pulau-pulau kecil di Raja Ampat memiliki konektivitas ekologis yang tak bisa dipisahkan,” tegas Leonard.

Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat dikeluarkan oleh pemerintah daerah pada 2017, sebelum Bahlil menjabat sebagai menteri. Bahlil pun menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat dalam penerbitan izin tersebut dan akan mengkaji kembali operasional tambang yang dinilai kontroversial itu.

Aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat adat mendesak pemerintah untuk mencabut izin pertambangan yang beroperasi di kawasan tersebut, seraya menegaskan bahwa pembangunan ekonomi seharusnya tidak mengorbankan kelestarian alam dan hak hidup masyarakat lokal.

“Pariwisata berkelanjutan dan pelestarian alam bisa menjadi masa depan Raja Ampat, bukan pertambangan,” ujar salah satu tokoh adat di Waisai.

Isu ini diperkirakan akan terus bergulir, seiring meningkatnya tekanan publik kepada pemerintah pusat dan daerah untuk meninjau ulang kebijakan tambang di kawasan konservasi penting tersebut.

Exit mobile version