Pengacara terkenal Hotman Paris Hutapea dan pedangdut Inul Daratista, bersama sejumlah pengusaha hiburan, telah bertemu dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk membahas rencana kenaikan pajak hiburan sebesar 40%-75% untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Hotman, yang juga merupakan pemilik Beach Club Atlas (sebelumnya dikenal sebagai Holywings), menyoroti dampak penerapan pajak minimal 40% yang dapat merugikan bisnis hiburan di Indonesia.
“Meskipun pajak dikenakan kepada pelanggan, jika pelanggan tidak membayar, perusahaan harus membayar 40% dari pendapatan kotor,” ungkap Hotman usai pertemuan dengan Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta.
Keuntungan Tipis Bisnis Hiburan
Hotman menjelaskan bahwa rata-rata keuntungan perusahaan hiburan hanya sekitar 10% dari pendapatan, sementara perusahaan juga harus menanggung pajak lainnya seperti pajak badan, pajak penghasilan badan (PPhB), pajak dagang, pajak karyawan, dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha hiburan bisa mencapai hampir 100% dari pendapatan bisnis.
“Ini hampir seperti bunuh diri bisnis bagi kami. Jadi, jika tujuannya untuk merugikan kami, tolong jangan gunakan undang-undang atau keluarkan izin,” tambahnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Inul Daratista, yang juga memiliki karaoke Inul Vizta. Menurutnya, pelaku usaha hiburan harus menanggung biaya yang besar, termasuk biaya pajak.
“Kalkulasinya sangat banyak karena banyak pihak yang berkepentingan di usaha saya, termasuk karyawan dan tentu saja biaya pajak yang signifikan. Ini seperti bunuh diri bagi kita,” kata Inul.
Kompak Menolak Kenaikan Pajak Hiburan
Oleh karena itu, para pelaku usaha jasa hiburan bersama-sama menolak kenaikan pajak hiburan. Dengan dukungan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 900.1.13.1/403/SJ tertanggal 19 Januari 2024, mereka berharap penetapan pajak hiburan tetap mengikuti tarif lama, yaitu di bawah 40%-75%.
Saat ini, pelaku usaha jasa hiburan sedang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk penolakan terhadap penetapan batas minimal pajak.
Inul menegaskan harapannya agar melalui judicial review dan keputusan MK, keputusan yang adil dapat dihasilkan, sebab ini menyangkut banyak orang. Pajak ini dianggap tidak hanya berat, tetapi juga mencapai lebih dari 100% dari pendapatan yang harus mereka bayarkan.