Mata uang kripto dipastikan tidak akan terkena dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada tahun 2025. Sebaliknya, kripto justru berpeluang mendapatkan tarif pajak yang lebih rendah seiring dengan pergeseran statusnya menjadi aset keuangan digital berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Pemerintah menerapkan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang-barang mewah. Sedangkan transaksi pada perdagangan berjangka komoditi (PBK) serta aset kripto tidak termasuk dalam kategori tersebut, sehingga tidak dikenakan tarif PPN tersebut,” ujar Olvy Andrianita, Sekretaris Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), dalam keterangan resminya pada Kamis (2/1/2025).
Dua Komponen Pajak Utama pada Transaksi Kripto
Pendapatan negara dari pajak transaksi aset kripto hingga saat ini berasal dari dua jenis pajak utama. Pertama, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang dikenakan pada transaksi penjualan aset kripto melalui platform exchanger. Kedua, Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) yang dikenakan pada pembelian aset kripto. Ketentuan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 yang mengatur PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto.
Dari sisi kontribusi pajak, sektor kripto terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga November 2024, penerimaan pajak dari transaksi kripto mencapai Rp 511,8 miliar. Angka ini menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu Rp 246,45 miliar pada 2022 dan Rp 220,83 miliar pada 2023. Jika dijumlahkan, penerimaan pajak dari kripto sejak regulasi ini diberlakukan telah mencapai total Rp 979,08 miliar, dengan PPN menyumbang bagian terbesar, yaitu Rp 519,73 miliar.
Kripto Beralih Status ke Aset Keuangan Digital
Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan dan Aset Digital OJK, menjelaskan bahwa status kripto di Indonesia sebelumnya diperlakukan sebagai komoditas. Oleh karena itu, pajak yang dikenakan mengikuti skema pajak barang biasa. Namun, seiring diterbitkannya Peraturan OJK (POJK) Nomor 27 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital, kripto kini didefinisikan sebagai bagian dari aset keuangan digital yang berada di bawah pengawasan langsung OJK.
“Kami berharap unsur perpajakan kripto ke depannya akan mengikuti kebijakan yang berlaku untuk aset keuangan digital lainnya. Ini membuka peluang untuk tarif pajak yang lebih ringan dibandingkan saat kripto masih dianggap sebagai kelas aset komoditas,” ungkap Hasan saat ditemui di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, hari ini.
Pergeseran ini diharapkan dapat memberikan kemudahan kepada pelaku usaha kripto di Indonesia, sekaligus mendukung pengembangan sektor aset digital yang semakin berkembang di tingkat global.