Angka Kemiskinan di Indonesia kembali mencatat penurunan. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2025, jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta jiwa. Meski secara statistik ini adalah capaian positif, banyak pihak menilai bahwa Angka Kemiskinan di Indonesia belum mencerminkan realita sosial-ekonomi masyarakat yang masih serba kekurangan dan rentan.
Penurunan angka ini disebut sebagai yang terendah sejak dua dekade terakhir. Namun, sejumlah pengamat dan ekonom mengkritik metode pengukuran kemiskinan yang digunakan pemerintah, terutama terkait dengan garis kemiskinan yang ditetapkan hanya sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Bila dihitung dalam satu rumah tangga yang rata-rata berjumlah 4–5 orang, angka tersebut dinilai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Data Positif, Realitas Masih Suram
BPS menyebut bahwa penurunan angka kemiskinan terutama terjadi di wilayah perdesaan. Tingkat kemiskinan di desa menurun menjadi 11,03 persen, sementara di wilayah perkotaan justru sedikit naik menjadi 6,73 persen. Artinya, meski ada perbaikan, tekanan ekonomi justru semakin dirasakan di kota-kota besar.
Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di perkotaan juga mengalami kenaikan. Ini menunjukkan bahwa jurang ketimpangan konsumsi antara masyarakat miskin dan garis kemiskinan semakin lebar. Banyak dari mereka yang secara teknis tidak masuk dalam kategori miskin, namun hidup dalam kondisi ekonomi yang jauh dari layak.
Pengamat ekonomi menyebut penurunan angka kemiskinan ini cenderung bersifat semu. Jika menggunakan standar kemiskinan global yang ditetapkan Bank Dunia untuk negara menengah atas, yakni sekitar USD 6,85 per hari atau setara Rp3 juta per bulan, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia sesungguhnya bisa mencapai lebih dari separuh populasi.
Tak hanya itu, pola konsumsi masyarakat miskin pun menjadi sorotan. Banyak dari mereka yang mengalokasikan penghasilan untuk kebutuhan seperti beras, rokok, dan kopi, namun minim alokasi untuk gizi seimbang atau kesehatan. Ini memperkuat anggapan bahwa keluar dari garis kemiskinan secara statistik tidak serta-merta membuat kualitas hidup menjadi lebih baik.
Pemerintah Didesak Revisi Standar Garis Kemiskinan
Sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk meninjau ulang indikator garis kemiskinan agar sesuai dengan standar hidup layak. Selain itu, program pengentasan kemiskinan ekstrem yang menargetkan 0 persen pada 2025 juga dinilai perlu perbaikan, termasuk integrasi data dan distribusi bantuan sosial yang tepat sasaran.
Meski angka kemiskinan menurun, tantangan terbesar justru terletak pada membangun ketahanan ekonomi keluarga rentan yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Tanpa intervensi kebijakan yang menyentuh akar masalah seperti akses pendidikan, lapangan kerja produktif, dan jaminan kesehatan, penurunan ini dikhawatirkan hanya menjadi angka-angka kosong yang tidak membawa perubahan nyata.
Pemerintah pun diharapkan lebih transparan dan realistis dalam menyusun data dan strategi. Penurunan angka memang penting, tapi yang lebih krusial adalah memastikan bahwa masyarakat benar-benar hidup lebih sejahtera, bukan sekadar tidak masuk dalam kategori miskin versi statistik nasional.