Jakarta – Dalam rangka mengejar target netral karbon 2060, PLN akan membangun sejumlah pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Untuk mewujudkan rencana tersebut PLN membutuhkan investasi hingga USD 500 miliar atau sekitar Rp7.125 triliun.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto minta Pemerintah memanfaatkan momen Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26 di Glasgow, Skotlandia, untuk membantu PLN mencarikan mitra yang dapat memberikan bantuan pinjaman dengan tingkat bunga yang ringan.
Pemerintah harus dapat melobi negara-negara maju agar komit pada isi Perjanjian Paris. Tanpa pinjaman dana program energi hijau Mulyanto melihat rencana PLN tidak dapat dilaksanakan. Kalau pun dipaksakan justru akan membahayakan keuangan PLN yang sudah kritis.
“Ini jumlah investasi yang tidak kecil, apalagi utang PLN sekarang masih sekitar Rp 500 triliun. Karena itu Pemerintah perlu membantu mencarikan dana dari program energi hijau yang sudah dijanjikan oleh negara-negara maju,” ujar Mulyanto.
Mulyanto menegaskan saat ini PLN memang perlu memulai mengembangkan pembangkit energi bersih. Tapi pelaksanaannya harus bertahap agar sistem ketahanan energi nasional tetap terjaga. Jangan sampai peralihan sistem pembangkit ini menyebabkan terjadinya krisis energi seperti yang terjadi di negara-negara Eropa.
Selain itu Mulyanto minta peralihan sistem ini jangan membuat harga listrik menjadi lebih mahal. Sekarang saja tarif listrik PLN untuk pelanggan rumah tangga dua kali lebih mahal dibandingkan tarif listrik di Malaysia.
“Jangan sampai karena terdesak tuntutan internasional untuk netral karbon, maka yang dihasilkan PLN adalah listrik mahal yang memberatkan rakyat,” kata Mulyanto.
Politisi PKS ini minta Pemerintah berhati-hati menindaklanjuti program energi hijau. Ia minta Pemerintah jangan terlalu jor-joran mengeluarkan biaya untuk melaksanakan program ini sementara negara-negara maju sendiri tidak total melaksanakan komitmennya.
“Sebelumnya AS melalui Presiden Trump menarik diri dari Perjanjian Paris. Inggris yang berkomitmen penuh dengan energi bersih, karena krisis energi, kembali menyalakan PLTU-nya. Begitu juga China.
Jadi Pemerintah mesti berhati-hati melaksanakan program ini. Kalau bisa Pemerintah mendesak negara-negara maju untuk melaksanakan komitmennya mengalirkan pendanaan program energi hijau ke Indonesia,” ujar Mulyanto.
Sesuai perjanjian Paris disepakati negara maju akan menggelontorkan dana sebesar USD 100 milyar/tahun atau sekitar Rp 1.400 triliun sejak 2020 untuk membantu negara berkembang melaksanakan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Dimana untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca tersebut sebesar 29 persennya diupayakan Indonesia atas usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
“Karenanya kita jangan terlalu lugu dan didikte dengan target netral karbon internasional dengan segala cara (at all cost) meski harus mengorbankan rakyat dengan harga listrik yang mahal.
Bagi kita listrik yang murah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat itu adalah yang utama. Ini national interest kita,” tandas Mulyanto.