Mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengkritik rencana pemerintah untuk pindah ibu kota. Ia menilai anggaran untuk pindah ibukota yang mencapai Rp 466 triliun lebih baik dialokasikan untuk mengembangkan sistem transportasi di Jakarta sehingga mampu mengatasi macet. Ia juga mengatakan, kondisi Jakarta dan beberapa wilayah di utara pulau Jawa yang terkikis air laut terancam banjir. Sehingga 167 juta penduduk pulau Jawa harus diselamatkan.
“Di sini kita ingin bilang kepada teman-teman kita di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), keliru cara berpikirnya itu. Yang kasihan ya presiden, yang memikul dampaknya. Kenapa Bappenas tega berbuat seperti itu? Saya sedih sekali mendengarnya,” katanya dalam diskusi publik yang bertajuk ‘tantangan persoalan ekonomi sosial dan pemerintahan ibu kota baru’ INDEF, di Restoran Rantang Ibu, Jakarta Selatan, Jumat (23/08/2019).
Menurutnya sentral negara bukanlah dilihat dari fisik atau letaknya, melainkan dilihat dari akses dengan pulau lain atau negara lain. Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk menjangkau daerah lain. “Kita ada di abad ke-21, yang menentukan kemajuan Indonesia itu bukan fisik tapi keampuhan sarana transportasi dan kualitas dari sumber daya manusia,” tegas Emil yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Kesuksesan pemindahan ibukota di negara lain tidak bisa serta merta dijadikan rujukan untuk Indonesia. Ia mencontohkan 30 negara yang berhasil memindahkan ibukota secara fisik, seperti Brasilia di Brasil, Putrajaya di Malaysia, Sejong di Korea Selatan, Astana di Kazakhstan, dan Canberra di Australia. Tetapi, negara-negara tersebut adalah negara non-kepulauan. Sementara Indonesia adalah negara kepulauan yang menjadi lalu lintas maritim di dunia.
Pemerintah sebaiknya mengutamakan hal lain yang lebih penting yaitu pembangunan sumber daya manusia. Anggaran SDM setidaknya 36% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pasalnya, kualitas SDM Indonesia masih berada di bawah Vietnam.
Ia meminta Bappenas maupun lembaga pemerintahan terkait untuk mempertimbangkan pendapat dari publik dan juga akademisi. “Saya tidak anti Bappenas, tapi mari adu logika dengan logika, demi selamatnya Presiden Jokowi,”tambahnya.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan mengatakan keputusan pemerintah untuk memindahkan Ibukota Negara yang dikabarkan ke Kalimantan Timur tidak akan memecahkan masalah ekonomi yang masih Jawa sentris.
“Kalau argumennya pemerataan ekonomi seharusnya daerah paling tertinggal yang dijadikan ibu kota seperti di Papua. Kalimantan ekonominya relatif lebih maju dibanding Papua atau Sulawesi. Argumen tersebut masih belum meyakinkan untuk diterima. Pemindahan ibu kota harus melihat kondisi perekonomian negara saat keputusan itu diambil, itu menjadi satu faktor penting dalam keputusan,” tambahnya.
Ia menilai saat ini kita menghadapi era dimana pertumbuhan rendah, di era Orde Baru bisa tumbuh 8 atau 7 persen, era SBY tumbuh 6 persen, sekarang tumbuh 5 persen. Selain itu pendapatan per kapita kita masih lebih rendah dari negara- negara lain. Pertumbuhan industri manufaktur kita juga selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi, seharusnya itu tidak terjadi.
“Sekarang pertumbuhan manufaktur hanya 3,7 persen sehingga perlu agenda reindustrialisasi. Kita mengalami deindustrialisasi dini, sementara negara lain bisa mencapai pertumbuhan industrialisasi 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Saat ini pertumbuhan industrialisasi kita hanya 20 persen saja dari PDB. Sumber utama ekspor kita masih produk berbasis sumber daya alam yang mungkin tidak terbarukan. Ini tantangan ke depan dan seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan hal itu daripada wacana pemindahan ibu kota,” pungkasnya.