Top Mortar Gak Takut Hujan
Home Profil Pilihan Panen Ikan Nilem Balita 1,5 Ton per Bulan dengan Sistem Polikultur

Panen Ikan Nilem Balita 1,5 Ton per Bulan dengan Sistem Polikultur

0

Tingginya permintaan ikan Nilem (Osteochillus hasselti) ukuran 5-8 cm (Nilem Balita) menarik Hendra Alamsyah untuk meneruskan usaha budidaya ikan milik orangtuanya. Hendra begitu ia disapa mulai membudidaya ikan Nilem dengan 6 kolam warisan orangtuanya di Kampung Kubangeceng, Desa Mekarjaya, Kecamatan Padakembang, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Meski demikian, Hendra mengaku perlu merogoh kocek sekitar Rp 68 juta yang digunakan untuk membeli satu paket induk ikan Nilem (100 ekor jantan, 200 ekor betina) seharga Rp 2 juta, membuat satu kolam tanah ukuran 1.400 m2 menghabiskan sekitar Rp 50 juta, dan juga membuat kandang ayam seluas 100 m2 sebesar Rp 15 juta. Sedangkan sisanya digunakan untuk membeli 1 box bibit ayam broiler (100 ekor), cangkul, garpu, jaring dan serokan ikan.

Hendra mengatakan, ikan Nilem memang sudah lama dibudidaya di Tasik. Ikan ini memiliki kemiripan dengan Ikan Mas (Cyprinus carpio) maupun ikan Wader (Puntius brammoides). Selain untuk dibesarkan sebagai ikan konsumsi, banyak pula petani ikan di Tasik yang memanen ikan Nilem lebih cepat. Dalam waktu 2,5-3 bulan ikan Nilem ukuran 5-8 cm sudah bisa dipanen. Ikan yang berukuran kecil itu, banyak dipesan restoran untuk dijadikan camilan atau oleh-oleh ikan Nilem Balita goreng kering dalam kemasan plastik.

Hendra mengatakan, prospek usaha budidaya Nilem Balita ini sangat menjanjikan. Selain waktu budidaya yang singkat, ikan Nilem Balita sangat diminati, karena mengandung protein yang tinggi. Selain bisa dijadikan lauk, Nilem Balita juga bisa dijadikan camilan dan buah tangan khas Tasik. Menariknya lagi, jika telah digoreng kering, Nilem Balita ini bisa tahan 3 bulan tanpa perlu diberi pengawet maupun bumbu tambahan, namun rasanya tetap gurih dan garing (kering).

Polikultur. Meski memiliki kesamaan dengan ikan Mas atau ikan Wader, namun ikan Nilem termasuk ikan herbivora, yakni pemakan tumbuhan. Dengan demikian tak perlu pakan pelet. “Ikan Nilem cukup makan pakan alami berupa lumut, plankton yang tumbuh secara alami di kolam,” jelas Hendra.

Untuk itu, Hendra membuat kandang ayam di atas kolam yang dikenal dengan sistem polikultur (longyam – balong/kolam dan ayam). Dengan begitu kotoran ayam jatuh dan terurai dalam kolam dan menumbuhkan lumut dan plankton.

Tak ayal Hendra tak dipusingkan untuk membeli pakan pelet maupun memberi makan tiap harinya sehingga budidaya ikan Nilem ini dirasa jauh lebih menguntungkan karena tidak perlu mengeluarkan anggaran yang berlebihan untuk pakan. Karena kebiasaan makannya tersebut maka ikan Nilem biasa juga disebut dengan ikan organik.

Di atas tiap kolam terdapat kandang ayam ukuran 100 m2 yang berisi 100 ekor ayam broiler yang dipanen tiap bulan dan dijual ke tengkulak yang mengambil ke tempatnya. Adapun harga per kilogram ayam Rp 13 ribu yang menghabiskan dedak 300 kg tiap kandang atau 1.800 kg dengan harga Rp 1.600/kg.

Hendra memelihara 300 ekor ikan di satu kolam indukan, sedangkan pembesaran ikan balita dilakukan di 6 kolam lainnya. Proses budidaya dimulai dengan perkawinan yakni memasukkan 10 pasang indukan (10 ekor jantan dan 20 ekor betina) dalam kolam semen ukuran 2 x 3 meter yang telah dipasang hapa (jaring) ukuran 100 x 100 cm.  Indukan yang digunakan adalah indukan berumur 1-1,5 tahun dengan berat 180-200 gram.

Adapunciri ikan Nilem betina yang  siap dipijahkan (dikawinkan) terlihat dari ciri fisik seperti gerakan lambat, postur tubuh gemuk, warna tubuh kelabu kekuningan, dan lubang genital berbentuk bulat telur agak melebar dan membengkak.

Sedangkan ciri ikan jantan pada bagian kelaminnya mengeluarkan cairan putih (sperma) jika perutnya diurut (stripping), gerakannya lincah, postur tubuh dan perut ramping, warna tubuh kehijauan dan kadang gelap, lubang urogenital (kelamin) agak menonjol serta sirip dada kasar dan perutnya keras.

Proses pemijahan ikan Nilem berlangsung pada malam hari, dan induk Nilem akan bertelur setelah 8 jam usai pemijahan. Telur-telur tersebut akan menetas dalam waktu 1 hingga 2 hari atau paling lama 48 jam, dengan tingkat keberhasilan penetasan sekitar 95%. Tiap kali perkawinan akan menghasilkan 400-500 ribu ekor benih (larva), dan tiap bulan Hendra memijahkan indukan 2-3 kali.

Dalam waktu 1-2 hari tersebut larva-larva yang menetas dapat dipindahkan ke dalam 6 kolam pendederan (pembesaran). Namun sebelumnya, pastikan kolam telah ditumbuhi plankton dan lumut. “Kurang lebih setelah kolam dikuras dan dikapur dan diisi air, diamkan selama 3 hari,” kata Hendra.

Selama pemeliharaan, suami dari Wiwi Nurmala Dewi ini tidak memberikan pakan pelet, karena di atas kolam pembesaran terdapat kandang ayam. “Nah kotoran ayam itu jatuh ke kolam dan terurai yang membuat tanah subur sehingga tumbuh lumut dan plankton sebagai pakan alami ikan,” katanya.

Kontan budidaya ikan Nilem Balita ini tak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli pakan pelet. Namun sesekali, Hendra memberikan dedak yang dibelinya di pasar Padakembang Tasik dengan harga Rp 1.600/kg. “Tiap bulan paling habis 1 kuintal (100 kg) dedak,” tambahnya.

Karena Nilem termasuk ikan yang aktif bergerak, maka sebaiknya dibudidaya dalam kolam yang memiliki aliran air yang jernih dan lancar. Untuk itu perlu dibuat saluran pemasukan air (inlet) dan saluran keluar air (outlet) dengan air sungai sebagai sumbernya yang mengalir secara terus menerus.

Dalam waktu 2,5-3 bulan ikan Nilem Balita sudah bisa dipanen dengan cara menyurutkan air kolam, yaitu menyumbat inlet dan membuka outlet hingga ketinggian air sekitar 50 cm. Setelah itu tebar jaring sehingga ikan terangkat semua dan lakukan penyortiran sesuai ukuran ikan. “Saat pertama, dari 6 kolam bisa dipanen 1,5 ton ikan Nilem Balita selama 2,5-3 bulan. Tapi saat ini, saya bisa panen 1,5 ton ikan Nilem Balita tiap bulan karena memijahkan 2-3 kali tiap bulannya,” ujar Hendra.

Pemasaran. Ayah dari Alifah dan Asyad ini menjual hasil panen ikan Nilem Balita ke  bandar (tengkulak) dengan harga Rp 14 ribu/kg. Dari tangan tengkulak biasanya dijual ke para pengusaha restoran, supermarket seperti Carrefour maupun pasar tradisional dengan harga Rp 17-20 ribu/kg. Sedangkan harga ikan Nilem Balita segar di pasar dijual Rp 20-24 ribu/kg dan Rp 15 ribu/ons (100 gram) untuk ikan Nilem Balita yang sudah digoreng dan dikemas.

Saat awal persiapan kolam dan panen Hendra dibantu oleh 3 orang karyawan yang digaji Rp 20 ribu/hari. Hendra pun tak perlu repot mengantarkan hasil panen ikan Nilem Balita, pasalnya tiap kali panen, tengkulak yang datang ke kolamnya.

Tiap bulan Hendra bisa memanen 1,5 ton Nilem Balita dari 6 kolam yang berasal dari satu perkawinan (10 jantan dan 20 betina). Dengan harga jual Nilem Balita ke tengkulak Rp 14 ribu, maka omset yang dapat diperoleh sekitar Rp 21 juta tiap bulan. Namun setelah ditambah penjualan 600 ekor ayam broiler, maka omset yang didapat Rp 28,8 juta. Dengan begitu kontribusi omset dari budidaya ikan Nilem Balita sekitar 73%.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version