Top Mortar tkdn
Home Bisnis Konflik Iran Israel Mengancam Industri Indonesia, Pemerintah Minta Pelaku Usaha Siaga

Konflik Iran Israel Mengancam Industri Indonesia, Pemerintah Minta Pelaku Usaha Siaga

0
Konflik Iran Israel Mengancam Industri Indonesia, Pemerintah Minta Pelaku Usaha Siaga (Foto Konflik Iran dan Israel, Dok Foto: Reuters)

Ketegangan akibat Konflik Iran Israel terus bereskalasi dan mulai memberikan imbas serius ke berbagai sektor global, termasuk manufaktur. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan populasi keempat terbanyak di dunia, menghadapi risiko tinggi terhadap dampak dari konflik tersebut—terutama lonjakan harga energi, kenaikan biaya logistik, dan pelemahan permintaan ekspor.

Salah satu pukulan paling nyata dari konflik Iran Israel terlihat di pasar energi. Kawasan Timur Tengah, sebagai penghasil hampir sepertiga produksi minyak dunia, kini menjadi titik rawan pasokan. Produksi harian Iran yang mencapai lebih dari 3 juta barel terancam terganggu. Harga minyak mentah dunia pun terus bergejolak—Brent misalnya, telah bergerak liar antara 73 hingga 92 dolar AS per barel. Ancaman penutupan Selat Hormuz, jalur vital distribusi energi dunia, kian menambah ketidakpastian pasar.

Industri Diminta Efisiensi dan Diversifikasi Energi

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyoroti pentingnya kesiapan sektor industri nasional dalam menghadapi dampak geopolitik tersebut. Ia meminta pelaku industri lebih bijak menggunakan energi dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor, terutama dari kawasan konflik.

“Energi bukan hanya penopang produksi, tapi juga bahan baku penting dalam proses manufaktur. Kita harus lebih efisien dan mulai beralih ke energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan,” ujar Agus dalam keterangan resminya, Selasa (17/6).

Agus menegaskan bahwa upaya efisiensi energi dan diversifikasi sumber daya sangat diperlukan agar industri tetap tangguh dalam situasi krisis. Ia juga mendorong penggunaan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif, sekaligus mempercepat pengembangan produk manufaktur yang mendukung ketahanan energi nasional.

Selain sektor energi, Kemenperin juga memberi perhatian pada ketahanan pangan. Agus menyebut hilirisasi sektor agro menjadi langkah strategis menghadapi gejolak logistik, inflasi global, dan tekanan nilai tukar. “Industri pangan harus bisa memproses hasil pertanian dan perikanan lokal agar tak bergantung terus pada impor,” tegasnya.

Kemenperin juga mendorong inovasi teknologi produksi di sektor agro agar industri bisa menciptakan nilai tambah tinggi di dalam negeri, sekaligus mendukung agenda besar pemerintahan Presiden Prabowo terkait kemandirian pangan.

Ancaman Terhadap Rantai Pasok Industri

Di sisi lain, ancaman terhadap rantai pasok juga semakin nyata. Jalur pelayaran seperti Selat Hormuz dan Terusan Suez kini menghadapi potensi gangguan, mendorong pengalihan rute melalui Tanjung Harapan di Afrika. Imbasnya, waktu pengiriman bertambah hingga dua pekan dan biaya kontainer naik hingga dua kali lipat.

Kondisi ini berdampak langsung pada sektor otomotif, elektronik, tekstil, dan bahkan baja. Kelangkaan semikonduktor bisa membuat ekspor otomotif terpangkas hingga 500 juta dolar AS, sementara sektor baja menghadapi biaya transportasi batubara yang naik 20 persen serta penundaan pengiriman selama sebulan.

Agus juga mengingatkan pentingnya pemanfaatan skema Local Currency Settlement (LCS) dari Bank Indonesia untuk mengurangi tekanan nilai tukar. “Dengan transaksi langsung dalam rupiah dan mata uang mitra dagang, kita bisa menahan dampak volatilitas kurs akibat perang,” ujarnya.

Tren global pun mulai berubah. Negara-negara Barat mendorong “friend-shoring” atau pengalihan rantai pasok ke wilayah yang dianggap lebih stabil. Meski ini membuka peluang bagi Indonesia—terutama lewat cadangan nikel nasional yang besar—tantangan tetap ada. Salah satunya adalah hambatan perdagangan seperti kebijakan CBAM dari Uni Eropa, yang bisa meningkatkan beban biaya hingga 12 persen bagi eksportir.

Exit mobile version