Berempat.com – Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri yakin bahwa Indonesia siap menghadapi revolusi industri 4.0. Hanif yakin sebab dirinya berkaca pada revolusi industri sebelumnya (1.0;2.0;3.0) yang juga pernah dilalui oleh Indonesia. Awalnya pun selalu dipenuhi respon khawatir, namun tetap saja Indonesia mampu bertahan dan melewatinya.
“Demikian pula menghadapi revolusi industri 4.0, semua orang heboh. Tapi saya yakin at the end juga bisa survive. Hanya masalahnya tahapan RI 1.0 hingga RI 3.0, berjalan lebih predictable karena waktunya lebih panjang, “ ujar Hanif dalam acara Conference regional bertema ”Workshop 4.0 The Fourth Industrial Revolution, Digitalization & Work 4.0 – A Right To Training?” di Jakarta, Selasa (16/10).
Namun, Hanif pun mengingatkan, agar bisa menghadapi revolusi industri 4.0 dan konsekuensi yang muncul di tingkat industri maka dibutuhkan kesiapan dari seluruh pihak, mulai dari industri itu sendiri yang harus menyediakan jenis pekerjaan dan skill yang dibutuhkan, skema perlindungan tenaga kerja di masa depan, serikat pekerja, bahkan dari pemerintah dan perguruan tinggi.
“Semua pihak harus ngepung persoalan ini, sehingga investasi SDM bisa merespon perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi,” terang Hanif.
Revolusi industri 4.0, menurut Hanif, ialah proses produksi di seluruh dunia yang mengombinasikan tiga unsur penting, yaitu manusia, mesin atau robot, dan big data. Kombinasi tiga unsur itu akan menggerakkan seluruh produksi menjadi lebih efisien, cepat, dan massif.
Dan konsekuensi dari revolusi industri 4.0 ini yaitu hilangnya sejumlah pekerjaan dan terciptanya pekerjaan-pekerjaan baru. Selain itu, revolusi industri 4.0 ini pun akan mengubah banyak hal, termasuk perubahan di tingkat industri. Industri akan bertransformasi karena proses produksinya berubah.
“Ini juga belum banyak disadari termasuk oleh serikat pekerja, LSM, dan dunia usaha,” terang Hanif.
Ketika proses produksi berubah maka proses bisnisnya juga berubah. Contohnya, imbuh Hanif, isu job security. “Dalam dunia sekarang ini, pasti konsepnya juga berubah dan responnya kita juga berubah,” tuturnya.
Hanif menambahkan hingga saat ini pemerintah terus melakukan pemetaan pekerjaan di masa depan, khususnya di sektor dan profesi yang tumbuh dan akan berkembang, serta yang tak lagi relevan.
Hanif menegaskan, isu pelatihan vokasi perlu mendapat perhatian penting karena memiliki kelenturan dalam mendorong perubahan skills di masyarakat.
“Vocational training menjadi bagian institusi yang perlu untuk dikembangkan kurikulumnya untuk dapat bersaing sesuai dengan kebutuhan pasar,” katanya.