Jakarta – Saat harga minyak dunia anjlok ke titik terendah, Pemerintah tidak menurunkan harga jual. Sementara di saat sekarang harga jual melonjak dampak perang Rusia-Ukraina, Pemerintah buru-buru menaikan harga jual migas kepada masyarakat. Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai Pemerintah inkonsisten tetapkan rumus harga jual migas nasional.
Mulyanto menyebut kebijakan Pemerintah ini inkonsisten, latah dan sekedar jalan pintas melimpahkan beban kepada masyarakat. Padahal pandemi CO VID-19 belum usai, Omicron masih tinggi dan kemampuan ekonomi masyarakat masih tertatih-tatih.
“Kasihan masyarakat harus menanggung beban kenaikan harga LPG non-subsidi berturut-turut dalam tiga bulan terakhir, kemudian harga BBM non-subsidi 2 Maret 2022. Pemerintah bukannya membantu meringankan beban masyarakat malah menambah berat. Harusnya negara hadir dalam situasi seperti sekarang. Jangan buang badan,” tegas Mulyanto.
Karena itu Mulyanto mendesak Pemerintah meninjau ulang kebijakan yang memberatkan masyarakat tersebut. Beban ini harus ditanggung oleh Pemerintah dan BUMN. Jangan hanya dipikul oleh masyarakat. Negara harus hadir dalam masalah ini.
Menurut Mulyanto, harga-harga energi domestik ini tidak mesti naik. Karena kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas sebenarnya dapat dikompensasi dari penerimaan ekspor komoditas energi lain. Pemerintah bisa memaksimalkan pendapatan dari ekspor batu bara, gas alam dan CPO yang harganya melejit.
Sebagai contoh, penerimaan negara dari ekspor batubara dan CPO pada tahun 2021 sebesar USD 56 milyar. Sementara defisit transaksi berjalan sektor migas, karena impor BBM dan LPG, pada tahun 2021 hanya sebesar USD 13 milyar. Karenanya, kenaikan penerimaan ekspor batubara dan CPO mestinya dapat mengkompensasi kenaikan defisit transaksi dari impor migas.
Jadi, menurut Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia, tidak otomatis harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG domestik.
Mulyanto juga meminta Pemerintah untuk mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif, yang tidak memicu inflasi dan membebani rakyat di saat pandemi Covid-19 yang belum usai ini.
Misalnya dalam jangka pendek, Pemerintah agar meningkatkan skema penerimaan negara dari ekspor batubara dan CPO untuk mengkompensasi kenaikan harga BBM dan LPG. Dua hari terakhir harga batubara melambung 160 persen menembus angka USD 400/ton. Begitu juga harga CPO yang meroket.
Kemudian kebijkan substitusi LPG dapat dilakukan dengan menggunakan kompor listrik atau gas alam, apalagi kalau gas alam ini dijual dalam bentuk tabung.
Sementara itu, seiring dengan iklim investasi yang membaik, Pemerintah dapat menggenjot eksplorasi dan produksi migas di lapangan eksisting. Karena dengan harga yang tinggi investasi migas menjadi semakin kondusif. Termasuk juga gerakan penghematan penggunaan energi nasional.