Berempat.com – Menteri Ketenagakerjaan mengungkapkan keheranannya pada fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, yaitu semakin menurunnya jumlah pekerja yang ikut serikat buruh, tapi justru jumlah federasi dan konfederasi meningkat. Hal tersebut disampaikannya saat mengikuti Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Konfederasi Serikat Nusantara (KSN).
“Ini cukup aneh. Di awal era reformasi ada 9 juta pekerja yang berserikat, tapi sekarang tersisa 2,7 juta pekerja yang berserikat. Yang menarik, struktur organisasi buruh di Indonesia tumbuh kuat ke atas, tapi basisnya keropos,” ujar Hanif di Karawang, Jawa Barat, Sabtu (21/4).
Saat ini, menurut Hanif, jumlah konfederasi yang semula 3 menjadi 14 dan federasi yang semula 91 menjadi 120. Hanif kemudian membandingkan dengan Amerika yang disebut bapaknya negara demokrasi hanya memiliki 1 konfederasi.
Selain pekerja yang berserikat, Hanif juga mengungkapkan menurunnya jumlah Pimpinan Unit Kerja (PUK). Saat ini hanya tersisa 7 ribu PUK dari yang sebelumnya 14 ribu PUK pada 2011 silam. Padahal perusahaan yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan jumlahnya sekitar 400 ribuan. Logikanya, menurut Hanif, semestinya ada 400 ribuan PUK.
“Dari data ini saya ingin mengatakan SP/SB kita basisnya keropos. SP/SB kita kekuatan politiknya lemah karena keanggotaannya merosot, karena PUK nya merosot. Tapi struktur elitnya bertambah. Jadi bisa disimpulkan pergerakan itu terjadi di lapisan elit,” tukas Hanif.
Kekeroposan yang dimaksud Hanif adalah terjadinya perpecahan dalam federasi maupun konfederasi, sehingga kubu yang keluar memilih membentuk federasi maupun konfederasi baru.
“Malam harinya berantem paginya deklarasi konfederasi baru. Malam harinya berantem paginya deklarasi federasi baru. Malam harinya berantem paginya deklarasi PUK yang baru. Begitu seterusnya,” ungkap Hanif.
Padahal, menurut Hanif tolok ukur berhasil atau tidaknya pergerakan buruh ada dua, yakni dilihat dari jumlah perusahaan yang memiliki serikat pekerja dan jumlah buruh yang masuk dalam serikat pekerja. Namun, faktanya jumlah pekerja di Indonesia yang masuk serikat pekerja malah berkurang.
“Fenomena ini perlu dipertanyakan. Apakah SP/SB sudah dapat memenuhi ekspektasi anggotanya atau hanya dijadikan alat politik bagi elitnya,” sambung Hanif.
Melihat kenyataan itu, Hanif pun beranggapan bahwa ini menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi serikat pekerja di seluruh Indonesia, termasuk bagi KSN. Peran organisasi pekerja menjadi lemah karena berbagai kepentingan yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan anggota.