Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menekankan pentingnya perlindungan konsumen dalam setiap aktivitas sektor jasa keuangan, termasuk layanan pinjaman online atau peer-to-peer (P2P) lending. Penegasan ini muncul menyusul laporan masyarakat terkait dana yang tiba-tiba masuk ke rekening mereka tanpa adanya pengajuan pinjaman melalui aplikasi Rupiah Cepat, milik PT Kredit Utama Fintech Indonesia.
OJK memastikan telah menindaklanjuti laporan tersebut. Langkah yang diambil antara lain memanggil pihak pengelola Rupiah Cepat untuk dimintai klarifikasi, sekaligus mendesak mereka melakukan investigasi internal atas dugaan penyalahgunaan layanan.
“Kami telah menerima pengaduan dari masyarakat dan meminta penyelenggara untuk memberikan penjelasan serta menindaklanjuti kasus ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” demikian keterangan resmi OJK, Selasa (20/5/2025).
OJK juga meminta pihak platform untuk menyampaikan hasil investigasi kepada regulator serta memberikan solusi kepada konsumen yang merasa dirugikan. Otoritas mengingatkan masyarakat agar selalu berhati-hati terhadap tawaran pinjaman online, terutama yang berasal dari pihak tak dikenal, serta menjaga kerahasiaan kata sandi dan kode OTP.
Bagi masyarakat yang menemukan indikasi pelanggaran, OJK membuka saluran pengaduan melalui nomor 157, WhatsApp 081-157-157-157, atau Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen (APPK).
Perempuan Dominasi Pengguna Fintech, Tapi Literasi Keuangan Masih Rendah
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, mengungkapkan bahwa perempuan menjadi kelompok terbesar pengguna layanan fintech saat ini.
“Dari data yang kami miliki, sebanyak 50,3 persen pengguna fintech adalah perempuan, sedikit lebih banyak dibandingkan laki-laki yang sebesar 49,7 persen,” ujarnya dalam kegiatan SiCantiks bertajuk “Sahabat Ibu Cakap Literasi Keuangan Syariah”, yang berlangsung di Menara Radius Prawiro, Jakarta, Senin (28/4/2025).
Namun, tingginya angka partisipasi ini tidak diimbangi oleh tingkat pemahaman keuangan yang memadai. Ismail menekankan pentingnya literasi keuangan, terutama bagi perempuan yang kerap memegang peran strategis dalam rumah tangga sebagai pengelola keuangan keluarga.
“Kami melihat ibu-ibu sebagai pihak yang sangat penting untuk diberdayakan melalui program literasi dan inklusi keuangan, terutama dalam pemahaman keuangan syariah,” jelasnya.
Sayangnya, hingga kini tingkat inklusi keuangan perempuan, khususnya ibu rumah tangga, masih rendah. Berdasarkan data OJK, baru 40,19 persen perempuan yang memiliki akses terhadap layanan keuangan, sementara literasi keuangan syariah di kalangan perempuan tercatat hanya 13,32 persen.
Ismail menyebut OJK tengah menunggu hasil terbaru dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang digarap Badan Pusat Statistik (BPS) dan akan diumumkan dalam waktu dekat. Ia mengisyaratkan adanya penurunan tingkat literasi perempuan dalam survei terbaru ini, yang sebelumnya sempat lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
“Kami tetap optimistis selisihnya tidak terlalu besar. Namun ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk meningkatkan pemahaman dan akses keuangan, khususnya bagi perempuan,” pungkasnya.