Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengambil langkah berani dengan mengganti istilah “pinjaman online” atau pinjol menjadi “pinjaman daring” atau pindar. Langkah ini bertujuan untuk memperbaiki citra buruk yang selama ini melekat pada layanan pinjol, terutama akibat ulah platform ilegal. OJK berharap rebranding ini akan membantu masyarakat lebih mudah membedakan platform legal dan ilegal.
Namun, perubahan nama ini menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak. Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Etika Karyani Suwondo, menyatakan bahwa meskipun rebranding bisa menjadi langkah awal yang baik, dampaknya akan bergantung pada perubahan nyata dalam cara pindar beroperasi.
“Rebranding adalah awal yang menjanjikan, tetapi tanpa perbaikan operasional, langkah ini hanya akan dianggap manipulatif. Bahkan, reputasi bisa semakin buruk jika perubahan hanya bersifat kosmetik,” ungkap Etika pada Kamis (9/1).
Menurut Etika, rebranding harus disertai dengan penciptaan ekosistem keuangan yang lebih sehat. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan platform legal untuk memblokir akses pinjol ilegal, menyebarluaskan informasi tentang platform resmi, serta meningkatkan literasi keuangan dan digital masyarakat.
Akar Masalah Tetap Jadi Sorotan
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, memandang perubahan nama dari pinjol ke pindar tidak akan berdampak signifikan terhadap citra platform pinjaman tersebut.
“Masalah utama pinjol adalah kredit konsumtif jangka pendek, bunga dan denda tinggi, serta metode penagihan yang tidak etis. Mengubah istilah tanpa menyelesaikan akar masalah hanya akan memperhalus persepsi tanpa solusi nyata,” tegas Bhima.
Bhima juga menyoroti kerugian yang dialami oleh peminjam dan pemberi pinjaman (lender). Ia menyebutkan beberapa kasus, seperti Investree dan Koin P2P, sebagai contoh nyata perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap industri ini.
“OJK seharusnya lebih fokus pada penyelesaian masalah mendasar, seperti praktik pinjaman yang menjebak masyarakat miskin dan sanksi hukum bagi pelaku pelanggaran, daripada sekadar mengutak-atik istilah,” tambah Bhima.
Aturan Baru untuk Meningkatkan Kepercayaan Publik
Sebagai bagian dari upaya memperbaiki citra, OJK juga mengeluarkan ketentuan baru terkait layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (LPBBTI). Dalam Surat Edaran Nomor 19/SEOJK.05/2023, OJK menetapkan bahwa peminjam harus berusia minimal 18 tahun dengan pendapatan sedikitnya Rp 3 juta per bulan.
Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Agusman, menegaskan bahwa rebranding ini merupakan langkah strategis untuk memperbaiki persepsi publik terhadap industri LPBBTI.
“Rebranding menjadi pindar adalah upaya strategis untuk meningkatkan citra positif layanan ini. Selama ini, pinjaman online sering dikaitkan dengan praktik tidak transparan dan bunga yang tinggi,” jelas Agusman dalam keterangan resminya pada Jumat (10/1).
Dengan langkah ini, OJK berharap mampu menciptakan industri layanan pendanaan yang lebih sehat dan berkelanjutan, sambil meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap platform legal. Namun, tanpa perbaikan menyeluruh pada tata kelola dan pengawasan operasional, transformasi ini berisiko hanya menjadi perubahan kosmetik belaka.