Langkah yang diambil oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meninjau kembali dan menindak tegas perusahaan pinjaman online (pinjol) yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat, mendapat dukungan dari Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI).
Sebagaimana banyak diberitakan, OJK melakukan pengawasan ketat dan mengumumkan penutupan operasional tiga perusahaan pinjol akibat kurangnya permodalan dan ketidakpatuhan terhadap rekomendasi pengawasan. OJK juga secara resmi merilis daftar pinjol ilegal yang berlaku mulai 1 Agustus 2024, dengan total 654 entitas yang dinyatakan berbahaya karena tidak memiliki izin.
“Langkah ini bisa menjadi titik awal bagi pemerintah dan OJK untuk menata ulang bisnis pinjol yang telah menimbulkan banyak masalah dan merugikan masyarakat, termasuk menyebabkan korban jiwa,” ujar Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto, di Jakarta, Jumat (2/8/2024).
Dukungan dan Harapan dari REI
REI meminta OJK untuk menerapkan aturan yang sama terhadap perusahaan pinjol seperti yang berlaku di perbankan, termasuk prosedur dan batasan suku bunga, mengingat produk akhirnya serupa yaitu kredit pinjaman.
Joko Suranto juga berharap OJK melakukan edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat tentang potensi masalah yang bisa timbul jika kewajiban pinjol tidak terpenuhi.
“Edukasi yang serius diperlukan, karena jika ada masalah dengan pinjol, dampaknya bisa sangat besar. Bunga pinjaman bisa mencapai 116 persen per tahun, dan ini bisa menghambat akses pembiayaan ke perbankan untuk modal usaha atau kredit pemilikan rumah (KPR),” tegas CEO Buana Kassiti Group itu.
REI menggarisbawahi banyaknya kasus gagal bayar pinjol yang menyebabkan sekitar 40% pengajuan KPR termasuk KPR bersubsidi ditolak oleh bank karena skor kredit yang buruk.
Hal ini menghambat mereka mendapatkan KPR dan kehilangan kesempatan memiliki rumah idaman. Padahal, menurut Joko Suranto, rumah adalah tempat awal bagi keluarga untuk mendidik anak-anak mereka.
Lebih lanjut, Joko Suranto menyebutkan bahwa ketika seseorang ingin melunasi utang pinjol, belum tentu data mereka di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau BI Checking sudah terhapus, karena belum ada tempo yang pasti kapan data tersebut akan dibersihkan. Ada pula kasus di mana masyarakat ingin melunasi utangnya, namun perusahaan pinjolnya sudah tutup.
“Kondisi ini menjadi masalah karena masyarakat tidak tahu cara melunasi dan membersihkan data utangnya di OJK. Kami telah menyarankan kepada OJK untuk merapikan riwayat keuangan masyarakat dengan kriteria tertentu, misalnya data SLIK yang sudah dua tahun atau selesai masalahnya agar segera dikoreksi,” jelasnya.
Peran MUI dalam Penertiban Pinjol
Selain penertiban oleh OJK, REI juga berharap Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menegaskan kembali fatwa hukum pinjol karena lebih banyak mudaratnya dan berpotensi menjadi “penyakit” bagi masyarakat.
“Pinjol ini jelas lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Ada indikasi eksploitasi karena bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga tidak ada kejelasan kapan peminjam bisa melunasi pinjamannya,” kata Joko Suranto.
Komisi Fatwa MUI pernah mengadakan ijtima ulama yang menyepakati hukum pinjol dalam Islam. Ijtima ulama yang diadakan di Jakarta pada 2021 lalu memutuskan dengan tegas keharaman mengambil untung dari akad pinjam-meminjam baik secara online maupun offline.