Jakarta – Tren pertumbuhan ekonomi Syariah di Indonesia menunjukan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini sejalan dengan makin banyak masyarakat yang ingin melaksanakan kegiatan ekonomi berdasarkan aturan-aturan Syariah.
Hal tersebut dibenarkan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, saat menjadi narasumber dalam webinar bertajuk Peluang dan Tantangan Bisnis Perbankan Syariah Pascamerger Bank Syariah BUMN, Rabu (10/2/2021).
Menurut Wimboh kebutuhan masyarakat terhadap hadirnya produk-produk ekonomi Syariah, termasuk perbankan Syariah, menunjukan tren peningkatan. Untuk itu diperlukan jenis layanan yang lebih variatif dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Meskipun tren pertumbuhannya terus meningkat namun Wimboh mengingatkan setidaknya ada enam tantangan utama dalam mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Tantangan tersebut harus dihadapi kendati ruang pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah di tanah air masih cukup besar.
Hal ini terlihat dari tingginya pertumbuhan ekonomi Syariah yang pada tahun 2019 mampu tumbuh 5,72% dengan PDB (produk domestik bruto) nasional saat itu yang 5,02.
Tak hanya itu, industri halal Indonesia di Indonesia juga kian meningkat, di mana pada tahun 2020, nilai perdagangan industri halal Indonesia telah mencapai US$ 3 miliar atau setara dengan Rp 42 triliun (kurs Rp 14.000/US$0 dengan tren yang meningkat.
Menurut Wimboh, enam tantangan tersebut antara lain, pertama dari sisi pangsa pasar atau market share industri jasa keuangan syariah masih relatif kecil, yaitu sebesar 9,90% dari aset industri keuangan nasional.
“Perbankan syariah dituntut mampu menyediakan kebutuhan keuangan dalam pengembangan industri halal dan pengembangan Lembaga Keuangan Syariah,” kata Wimboh.
Selanjutnya, kedua, bila dilihat dari sisi permodalan, masih terbatas.
Saat ini, terdapat 6 bank syariah yang memiliki modal inti di bawah Rp 2 triliun dari total 14 bank umum syariah per Desember 2020.
Ketiga, tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia yang masih sangat rendah, yaitu sebesar 8,93%, jauh tertinggal dibandingkan indeks nasional sebesar 38,03%.
Sementara Indeks Inklusi Keuangan Syariah yang sebesar 9,1% juga masih tertinggal dibandingkan indeks nasional sebesar 76,19%.
Selanjutnya, keempat, terbatasnya sumber daya di industri keuangan syariah, antara lain kebutuhan sumber daya manusia yang handal dan memiliki kompetensi tinggi di bidang perbankan Syariah.
Kelima, competitiveness produk dan layanan keuangan syariah yang belum setara dibandingkan keuangan konvensional.
Dalam hal ini, diversifikasi produk keuangan syariah dan business matching menjadi hal yang sangat krusial.
Terakhir, keenam, masih rendahnya research and development dalam mengembangkan produk dan layanan syariah lebih inovatif.