Berempat.com – Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong industri nasional agar segera memanfaatkan skema Generalized System of Preferences (GSP) yang sudah ditetapkan Amerika Serikat. GSP merupakan kebijakan untuk memberikan keringanan bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang.
“Jadi, produk-produk yang GSP-nya belum termanfaatkan, perlu kita sosialisasikan dan dorong supaya dimanfaatkan secara maksimal,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (12/7).
Komoditas nasional yang memiliki keunggulan untuk masuk ke pasar AS, antara lain sayuran, bahan mentah agrikultur, perkayuan, stainless steel, karet, alas kaki, tekstil dan pakaian, serta barang konsumen.
Saat ini, Presiden AS Donald Trump tengah mengkaji kebijakan GSP tersebut karena dinilai membuat neraca perdagangan Negeri Paman Sam itu defisit. Program ini telah berlangsung sejak 1976, tetapi sempat dihentikan pada 2013 dan kembali diberlakukan pada Juni 2015.
Menurut Airlangga, pemerintah AS selalu meninjau ulang skema GSP secara periodik dalam kurun tiga tahun sekali. Tahun ini, Trump akan mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia, termasuk tekstil, plywood, kapas, serta beberapa hasil perikanan seperti udang dan kepiting.
Evaluasi itu dilakukan guna menentukan produk apa saja yang masih layak menerima GSP. Apabila hasil dari evaluasi tersebut merekomendasikan Indonesia tidak lagi berhak atas fasilitas GSP, maka manfaat program tersebut yang sudah diterima Indonesia akan dihapuskan segera setelah rekomendasinya ditandatangani Trump sekitar November 2018 sampai awal tahun 2019.
Tahun 2011, Indonesia adalah satu dari lima negara yang menikmati manfaat terbesar dari GSP AS, selain India, Thailand, Brasil, dan Afrika Selatan. Namun, sejak April lalu, AS mempertimbangkan ulang pemberian fasilitas itu untuk Indonesia dan India, terutama dari sudut pandang akses produk mereka di dua negara tersebut.
Airlangga pun meminta agar pelaku industri di dalam negeri tidak perlu khawatir dengan kondisi tersebut. “Komunikasi kami terus berjalan dengan Pemerintah AS. Pemerintah Indonesia juga akan melakukan sosialisasi terhadap eksportir kita yang produknya masuk ke dalam lingkup GSP,” paparnya.
Lebih lanjut, Airlangga menegaskan, pemerintah fokus memperkuat perekonomian nasional dengan menjaga kestabilan politik, pendidikan dan keamanan. “Kami akan memberi ketentraman kepada pelaku industri nasional agar iklim investasi bisa terus terjaga. Selain itu, berupaya untuk meningkatkan ekspor dan mengembangkan substitusi impor supaya perekonomian kita semakin kuat,” tuturnya.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menjelaskan, negara yang memiliki program GSP memiliki diskresi untuk menentukan negara mana dan produk apa yang akan memperoleh manfaat GSP dari negaranya.
“Saat ini, Indonesia memperoleh manfaat GSP dari beberapa negara seperti AS, Uni Eropa dan Australia,” terangnya.
Untuk GSP dari AS, pemotongan tarif bea masuk ini diberikan kepada 5.000 produk dari total 13.000 jenis produk yang dikenal oleh pemerintah AS. GSP AS ini memiliki tiga kategori manfaat, yakni kategori A, kategori A* dan kategori A+.
Adapun, Indonesia masih memperoleh manfaat GSP AS dalam kategori A yang memberikan pemotongan tarif bea masuk di AS untuk 3.500 produk, termasuk sebagian produk agrikultur, tekstil, garmen dan perkayuan. “Namun tidak semua produk ekspor Indonesia memperoleh manfaat GSP AS,” ungkapnya.
Shinta memaparkan, berdasarkan laporan GSP AS tahun 2017, Indonesia hanya memperoleh manfaat GSP sebanyak USD1,8 miliar dari total ekspor Indonesia ke AS pada tahun 2016 sebesar USD20 miliar. Itu artinya sebagian besar produk ekspor unggulan Indonesia tidak memperoleh manfaat GSP.
Lebih lanjut, tidak semua produk asal Indonesia yang mendapat manfaat GSP dari AS diekspor ke negara tersebut. Manfaat GSP AS untuk Indonesia akan diberikan hingga Indonesia tidak lagi menjadi penerima GSP AS, dengan kriteria sudah melampaui ambang batas Competitive Need Limitation (CNL) yang ditentukan atau hingga periode program GSP berakhir pada 31 Desember 2020.
Proses evaluasi ini dijadwalkan akan berlangsung hingga akhir tahun 2018. Apabila Indonesia tidak lagi menjadi penerima GSP, produk ekspor Indonesia ke AS yang saat ini menerima GSP akan dikenakan bea masuk normal (MFN) oleh AS seperti sebagian besar produk ekspor Indonesia ke AS.
Menurut Shinta, jika Indonesia tidak mendapatkan perpanjangan insentif tersebut dari AS, kinerja ekspor ke Negeri Paman Sam akan terpengaruh kendati selama ini surplus neraca perdagangan bilateral diraup oleh RI. Salah satu penyebab surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap AS senilai USD130 miliar pada 2017 adalah berkat kebijakan GSP berupa pemotongan tarif bea masuk hingga 0%.