Home Utama Bagaimana Kesiapan dan Prospek Bisnis Helikopter Jadi Taksi Udara di Jakarta

Bagaimana Kesiapan dan Prospek Bisnis Helikopter Jadi Taksi Udara di Jakarta

0

Dengan helikopter, dari Jalan Radio Dalam Raya ke Soekarno Hatta cukup 6 menit

Berempat.com“Kalo macet gini rasanya pengen terbang aja.”

Ungkapan semacam itu barangkali pernah didengar oleh sesama pengguna jalan raya di Jakarta, atau mungkin pernah terlontar dari mulut kita sendiri. Tak heran mengingat di waktu-waktu tertentu kemacetan di ibu kota bisa sangat menjengkelkan sehingga keinginan untuk terbang untuk bisa terlepas dari kemacetan pun terbersit.

Merentas kemacetan ibu kota dengan terbang sebetulnya bukan hal yang muskil. Tapi bukan layaknya Harry Potter, terbang di sini tentu menggunakan alat transportasi. Helikopter adalah alat transportasi yang paling memungkinkan untuk digunakan merentas kemacetan jalanan ibu kota.

Sebagai alat transportasi udara, helikopter tak memiliki badan sebesar pesawat penumpang, bisa terbang di antara gedung-gedung, juga tak perlu memiliki landasan pacu melainkan cukup heliport yang tak perlu tempat terlalu luas. Kelebihan inilah yang membuat helikopter bisa menjadi alat transportasi alternatif di Jakarta.

“Saya ingat ucapan duta besar Kanada saat mau perpisahan. Beliau bercerita, ‘saya tinggal di Indonesia 2 tahun, tapi 1 tahun lebih saya ada di jalan’. Karena begitu beratnya traffic yang ada di Indonesia, khususnya Jakarta,” kisah Presiden Director CSE Aviation Consulting Edwin Soedarmo saat berbicara di depan peserta pada hari pertama Rotary Wing Indonesia Conference 2018 berlangsung di JW Marriott, Jakarta, September lalu.

Pada kesempatan yang sama Edwin pun menggambarkan bagaimana helikopter bisa memangkas banyak waktu dalam perjalanan. Dalam slide presentasinya, ia memperlihatkan screenshot Google Maps dari ponselnya yang sudah diatur untuk menghitung estimasi waktu tempuh dari kantor CSE Aviation yang beralamat di Jalan Radio Dalam Raya ke Bandara Soekarno-Hatta.

Google Maps lantas menangkap jalur yang mesti ditempuh, yakni 46 menit dengan jarak 31 km melalui tol lingkar dalam. Itu pun kondisi jalanan dalam tangkapan Google Maps berwarna biru atau amat lancar pada pukul 12.20 WIB. Namun apabila menggunakan helikopter, waktu tempuh yang perlu dilalui lebih cepat 40 menit. Itu karena helikopter tak melalui kemacetan dan bisa memangkas jarak yang semula 31 km menjadi hanya 21 km (ditarik garis lurus).

Penggunaan helikopter sebagai alat transportasi di Jakarta dan sekitarnya memang bukan hal baru. Menurut Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saja, setidaknya di Indonesia sudah terdapat 29 perusahaan penyewa helikopter yang beroperasi. “Di mana saat ini beroperasi di udara Jakarta dan sekitarnya 12, dan yang khusus mengoperasikan di kawasan Jakarta itu hanya 1,” ujarnya pada kesempatan yang sama.

Namun, penggunaan helikopter ini memang baru bisa diakses oleh kalangan menengah atas karena memang tarif untuk sekali sewa helikopter yang cukup mahal. Sebagai gambaran, salah satu perusahaan penyedia Helicity (Helicopter City Transport), PT Whitesky Aviation mematok tarif sekitar Rp 7 juta untuk sekali jalan untuk rute Jakarta sebagaimana dikutip dari Kompas.

Tetapi, kendati demikian peminat alat transportasi yang mirip capung ini di Jakarta dan sekitarnya cukup banyak. Menurut Bisnis.com, sejak diluncurkan pada Desember 2017 sampai dengan Juni 2018, layanan Helicity telah melayani 200 penerbangan atau rata-rata 40 penerbangan per bulan.

Selain Whitesky Aviation, perusahaan penyedia helikopter yang berbeda, PT Jaya Trishindo Tbk. juga merasakan pertumbuhan bisnis penyewaan helikopter. Menurut Direktur Utama Jaya Trishindo Edwin Widjaja, konsumen perusahaannya paling banyak berasal dari perusahaan pertambangan dan perkebunan. Presentasinya sebesar 90%, sedangkan sisanya adalah konsumen per orang.

“Sebenarnya kalau perorangan banyak juga. Jadi banyak orang-orang biasa yang hanya mau coba, perlu kejar waktu dari tengah kota ke Cikarang, Jababeka, banyak juga ke pabrik-pabrik. Ada juga karena kunjungan principal dari luar negeri mereka jemput pakai helikopter,” ungkap Edwin seperti dikutip dari Detik.com.

Terkait tarif untuk penyewaan pribadi, Jaya Trishindo mematok harga di kisaran US$ 3.600 per jam.

Memang, saat ini helikopter baru bisa digunakan oleh masyarakat kalangan menengah atas. Namun, bukan tak mungkin kelak helikopter akan menjadi moda transportasi umum, dengan syarat ada permintaan dan kebutuhan yang tinggi. Sebab sebagaimana prinsip bisnis yang menyesuaikan suplai berdasarkan demand.

Uber dan Grab Pernah Menjajal Bisnis ‘Taksi Udara’

Kemungkinan untuk menjadikan helikopter sebagai moda transportasi massal atau taksi udara pernah dijajal oleh dua perusahaan aplikasi ride share, yakni Uber dan Grab. Saat masih berdiri sendiri 2015 lalu, Uber pernah berinovasi dengan menyediakan pemesanan helikopter di Jakarta, seperti dikutip dari CNN Indonesia. Namun, karena helikopter membutuhkan heliport sebagai landasan, maka layanan ini hanya bisa mengantar dan menjemput konsumen di lokasi tertentu saja.

Dan di tahun yang sama, Grab pun turut menjajal sektor bisnis tersebut dengan nama layanan GrabHeli.

Kendati layanan ini tak begitu terdengar raungnya pada dua perusahaan aplikasi ride-share tersebut, tentu tak berarti bahwa bisnis taksi udara ini tak menjanjikan. Sebab bila melihat kondisi jalanan yang semakin padat dari hari ke hari meski pembangunan infrastruktur terus dilakukan, maka bukan tak mungkin keberadaan helikopter sebagai taksi udara sangat dibutuhkan.

Komisaris Utama CSE Aviation, Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim  pun menganggap bahwa Indonesia harus sudah siap menghadapi hal tersebut sejak ini.

“Bagi masyarakat luas, kita harus melihat secara realistis bahwa kebutuhan rotary wing dalam konteks transportasi yang aman, cepat, dan terpercaya, itu harus kita sponsor, harus kita antisipasi jauh sebelumnya. Cepat atau lambat, mampu atau tidak mampu, kehadiran rotary wings di negara kepulauan seperti di Indonesia tidak bisa dihindari,” katanya.

Chappy bahkan mengungkapkan kekhawatirannya andai Indonesia belum menyiapkan diri untuk kemungkinan seperti itu, baik dari segi regulasi hingga infrastruktur, maka bukan tak mungkin orang-orang dari negara lain yang akan mengambil alih.

Ketakutan Chappy tentu bukan tanpa alasan. Bila melihat dari kenyataan bahwa Uber dan Grab saja sudah berani menjajaki bisnis taksi udara ini, maka bukan tak mungkin saat Grab benar-benar fokus menggarap taksi udara dapat menyebabkan persaingan ketat di kemudian hari, yang juga kemungkinan justru dapat meyikut para pemain lama.

Kekuatan modal menjadi salah satu faktor penting mengapa perusahaan macam Grab dan Go-Jek bisa berkembang pesat saat ini. Lihat saja bagaimana kedua perusahaan ini selalu bersaing lewat berbagai inovasi dan teknologinya, tak terkecuali dengan ragam diskon yang diberikan mampu membuat perusahaan transportasi konvensional harus kehilangan banyak konsumen. Tentu, bukan tak mungkin hal yang sama bisa dilakukan pada persaingan transportasi taksi udara di masa mendatang. Selain dari persaingan tarif, perusahaan macam Grab juga akan memberikan ancaman pada pesaingnya dari segi inovasi dan teknologi yang mumpuni.

Kesiapan Menanti Realisasi Taksi Udara

“Kita berharap beberapa hal yang belakangan ini kita lihat, sektor-sektor yang perlu kita pertimbangkan, katakanlah tentang high school untuk rotary wing, katakanlah tentang regulasi rotary wing, katakanlah tentang manufacturing, tentang maintenance dan banyak hal,” ungkap Chappy Hakim saat bicara soal sektor-sektor yang mesti diperhatikan dan disiapkan saat ini untuk memastikan keberlangsungan industri helikopter di Indonesia.

Sebetulnya banyak pihak yang menilai bahwa Jakarta memerlukan keberadaan moda transportasi alternatif yang tak lagi menambah beban jalan raya. Helikopter pun menjadi solusi yang paling realistis saat ini. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun tak menampik bahwa helikopter sebagai alat transportasi kota sudah menjadi kebutuhan bagi kota besar.

“Hal tersebut memang perlu kita siasati dengan cara-cara yang baik dan kita lakukan suatu persiapan-persiapan, agar apabila nanti traffic itu sudah menjadi kebutuhan yang masif kita sudah siap dengan keadaan itu,” ujar Budi.

Hadir dalam Rotary Wing Indonesia Conference 2018 pun turut meyakinkan Budi bahwa industri helikopter ini banyak diminati dan memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan. Karena itu, ia memastikan bahwa Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan melakukan berbagai upaya agar nantinya tak ada kendala dalam penerapan di lapangan.

“Mengingat bahwa memang benar operasional helikopter menguntungkan namun memiliki tingkat keselamatan yang tinggi sehingga harus dilakukan suatu operasi yang baik dan ketat dengan regulasi yang mumpuni,” tambahnya.

Regulasi, itulah poin pertama yang harus benar-benar dimatangkan oleh Kemenhub agar jangan sampai kasus ojek online maupun taksi online kembali terulang karena ketidaksiapan pemerintah mengikuti perubahan bisnis yang terjadi.

“Oleh karenanya kami akan menugaskan tim dari Kementerian Perhubungan dan beberapa korporasi, khususnya Airnav untuk membuat regulasi khusus pengoperasian helikopter dengan mengharmonasikan kebutuhan sipil, mengacu ICAO Annexes 6.4.3,” papar Budi.

Untuk saat ini saja, Kemenhub tengah dikejar untuk segera merampungkan regulasi berkaitan dengan penerbangan helikopter di malam hari atau Night VFR. Pasalnya, permintaan helikopter untuk terbang di malam hari pun cukup tinggi. Tentunya keperluan terbang di malam hari pun akan semakin tinggi apabila kelak helikopter benar-benar bisa menjadi taksi udara.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian tentu dalam hal keselamatan. Selain faktor maintenance armada, kelayakan dan kualitas pilot menjadi perhatian utama yang tak boleh terelakkan. Dalam satu kesempatan, Komisaris Utama Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Dr. Soerjanto Tjahjono sempat memberikan masukan kepada perusahaan penyewa helikopter agar lebih memperketat proses penyaringan pilot agar dapat meminimalisir terjadinya kecelakaan. Pasalnya, Soerjanto menilai dalam beberapa investigasi yang dilakukan KNKT terhadap kasus kecelakaan helikopter terdapat unsur kelalaian pilot karena kurangnya kompetensi yang dimiliki.

Namun, pernyataan tersebut langsung dibantah oleh Ketua Asosiasi Pilot Helikopter Indonesia (APHI) Capt. Imanuddin Yunus. Capt. Yunus menilai bahwa kompetensi pilot tak perlu diragukan lagi setelah lulus dari pendidikan. Apalagi, Yunus menilai bahwa usia karier seorang pilot ditentukan setiap tahun.

“Tiap 6 bulan (pilot) dicek kesehatan, tiap tahun dicek kompetensinya. Dan itu nggak cuman masalah terbang, (tapi juga) aerodinamis, teori kesehatan, teknikal mesin, CRM (cockpit research management), ada yang namanya dangerous good. Itu tiap tahun dicek,” terang Yunus.

Sebab itu, Yunus tak mengamini apabila faktor kecelakaan helikopter yang terjadi dihubungkan dengan kompetensi seorang pilot. Justru, Yunus menilai bahwa kecelakaan helikopter kerap terjadi karena penempatan pilot yang tak sesuai dengan pengalamannya.

“Pilot itu kan tipe operasi penerbangannya macam-macam. Nah itu harus sesuai dengan backgroundnya, experience-nya. Misalnya dia belum punya experience di offshore, dia nggak boleh langsung terjun ke situ. Harus di-training dulu, di-experience dulu,” terang Yunus.

“Jadi begitu orang (pilot) lulus itu, belum tentu bisa menerbangkan semua jenis penerbangan,” tambahnya.

Maka itu, Yunus lebih menekankan pada pentingnya pengetahuan perusahaan penyewa helikopter pada hal-hal seperti itu. Sehingga perusahaan tak asal dalam menempatkan pilot di jenis penerbangan yang tak sesuai dengan kemampuannya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version