Berkat eFishery, para peternak ikan juga bisa merasakan teknologi ‘kekinian’
Berempat.com – Di suatu siang, Wawan si pemilik tambak ikan lele sedang asyik menonton televisi. Sebuah kipas duduk menyala di dekatnya pada volume paling kencang; membantunya menyirnakan gerah yang tak bisa diajak kompromi. Di luar, matahari sedang menyala penuh gairah memberikan panasnya. Bahkan kucing liar lebih memilih berteduh di kolong mobil yang terparkir daripada harus bermain pasir disengat matahari.
Siang itu Wawan semestinya pergi ke tambak, tak peduli apa pun situasinya sekalipun kulit harus terbakar matahari ia tetap harus memberi makan ikan-ikan lelenya. Tapi itu kebiasaan yang mesti dilakukan Wawan dulu. Kini, ia cukup berbaring di televisi dan membiarkan sebuah alat mengambil alih tugasnya. Sekali waktu Wawan membuka smartphone-nya, membuka aplikasi dan mengecek apakah pakan sudah diberikan kepada ikan-ikannya sesuai jadwal. Dan ternyata tak ada masalah. Pakan sudah diberi, hasrat ikan-ikannya pun telah terpenuhi.
Apa yang dialami Wawan saat ini adalah segelintir kisah yang bisa dirasakan oleh para peternak ikan di era teknologi. Pada akhirnya, mereka bisa juga merasakan manfaat teknologi untuk keperluan ternak ikan dengan harga terjangkau. Memang, saat ini kemajuan teknologi tengah berkembang pesat, tapi sayangnya untuk sektor perkebunan dan peternakan di Indonesia hampir-hampir tak tersentuh oleh kemajuan teknologi.
Untungnya, saat ini baik Wawan maupun para peternak ikan lainnya telah merasakan manfaat salah satu teknologi yang hadir di peternakan ikan, yakni eFishery Smart Feeder. Seperti namanya, teknologi ini membantu para penambak dalam pemberian pakan secara otomatis, akurat, efektif dan efisien.
Bahkan dalam situsnya, eFishery mengklaim dapat membantu penambak menurunkan FCR (Feed Convertion Ratio) atau efisiensi pemberian pakan hingga 21% dan meningkatkan FCE (Feed Convertion Efficiency) hingga 80%. eFishery bahkan membantu penambak lewat pencatatan data pemberian pakan yang juga dapat terhubung ke internet.
Penambak bukan hanya terbantu dari segi teknologi, tetapi juga dari segi harga yang relatif terjangkau karena alat ini merupakan buatan dalam negeri. Inovasi yang benar-benar diciptakan oleh anak negeri bernama Gibran Huzaifah.
Sarjana yang Pernah Beternak Lele
Gibran sudah belajar mandiri saat berstatus mahasiswa Ilmu Biologi Institut Teknologi Bandung (ITB) 2008 silam. Orangtuanya bukanlah keluarga mapan yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan Gibran. Apalagi biaya untuk berkuliah saja sudah cukup mahal.
“Saat itu orangtua hanya sanggup membiayai kuliah, tak bisa mengirimkan uang untuk hidup sehari-hari di Bandung,” kenangnya.
Sebab itu, Gibran pun memutuskan untuk bekerja di samping berkuliah demi dapat memenuhi isi dompetnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, selama berkuliah Gibran hanya bisa bekerja serabutan. Di satu kesempatan ia pernah menjadi pemasok sayuran ke sejumlah resto di Bandung, mengerjakan berbagai soal tutorial daring dari luar negeri, hingga mengikuti berbagai kompetisi. Selama tiga tahun Gibran menjalani semua pekerjaan itu.
Tapi, anak pertama dari tiga bersaudara ini punya peruntungannya sendiri karena sudah memilih berkuliah di Ilmu Biologi. Sebab kebetulan di jurusan pilihannya itu ada kuliah praktik lapangan sehingga ia pun memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan para peternak, petani, hingga para pengusaha perikanan.
Sampai di suatu waktu seorang dosen menantangnya agar bisa membudidayakan lele. Sebab Gibran sudah sering menjalani kerja serabutan, ditambah memiliki relasi yang baik dengan para pengusaha perikanan, tantangan itu pun diterima dengan tangan terbuka. Apalagi sang dosen sudah memprediksi bahwa budidaya lele di Indonesia akan meledak seperti di negara lain.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi memulai budidaya lele?” ujarnya.
Karena itu sepulang dari kuliah Gibran langsung bergerak cepat. Ia pun berkeliling kawasan Bale Endah, Bandung, untuk mencari kolam lele. Sampai akhirnya ia pun menemukan kolam lele berukuran 5×10 meter yang di tahun 2011 masih bisa disewanya sebesar Rp 400 ribu per tahun. Gibran pun menggunakan uang tabungannya sebagai modal menyewa lahan kala itu.
Kendati berasal dari jurusan Biologi dan memiliki relasi dengan para penambak, tapi Gibran mengaku memulai budidaya lele dengan cara autodidak. Beruntung, ia berhasil memanen lele saat pertama kali budidaya. Tapi, sayangnya, di balik keberhasilannya itu Gibran tak merasakan keuntungan yang signifikan karena hanya bisa menjual ikannya ke tengkulak.
“Selisih antara (untung) yang diperoleh dengan biaya pakan sangat sedikit, karena ikan saya jual ke tengkulak,” kisahnya.
Gibran tentu tak ingin mendapatkan untung yang sedikit dari hasil tambak lelenya. Sebab bila pendapatannya seperti itu terus tentu ia tak dapat mengembangkan lagi tambak lelenya. Ia pun memutar otak, hingga akhirnya terbersit di benaknya untuk membuat makanan dengan olahan lele, seperti abon lele, katsu lele, hingga nuget lele. Lagi-lagi, semua itu dipalajarinya secara autodidak.
Sebagai langkah awalnya, Gibran mencoba memasarkannya lebih dulu ke kantin kampus dengan sistem titip. Bermula dari sana, Gibran pun mulai mendapatkan respon positif dengan datangnya berbagai masukan untuk rasa yang pas. Setelah dirasa olahan makanannya mulai bisa benar-benar diterima pasar, pria kelahiran Jakarta ’89 ini pun memutuskan untuk membuka booth sendiri. Sampai di titik ini, ia pun mengajak serta dua temannya.
Langkah yang diambil Gibran pun perlahan mulai menunjukkan hasilnya. Di tahun kelulusannya, tepatnya pada 2012, ia sudah memiliki tiga cabang khusus makanan olahan lelenya yang diberi merek Olele. Sementara kolam lelenya pun sudah bertambah menjadi delapan.
EFishery Lahir dari Permasalahan para Penambak
“Try not to become a man of success. Rather become a man of value.”
Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna, seperti itulah yang sekiranya disampaikan mendiang Albert Einstein. Dan langkah yang diambil oleh Gibran selepas menjadi peternak lele bisa dibilang telah mengintrepretasikan apa yang disampaikan Albert Einstein.
Karena memang teknologi pemberi pakan ikan otomatis yang kelak diberinya nama eFishery terlahir dari sebuah percakapan santai di tahun 2012. Kala itu Gibran tengah berbicara dengan seorang kenalannya yang memiliki 2.000 kolam ikan.
Dari obrolan itu pun mereka saling melontarkan berbagai permasalahan yang dirasakan dalam memberi pakan ikan. Persoalan-persoalan itu pun merangsang otak Gibran untuk memikirkan solusinya; melahirkan teknologi pemberi pakan ikan otomatis.
Pelan tapi pasti, dibantu oleh empat rekannya Gibran pun mulai menuangkan apa yang ada di otaknya melalui berbagai riset, perbaikan dan peningkatan fitur, hingga terlahirnya eFishery. Namun, baru di tahun 2014, peraih Mandiri Young Technopreneur of The Year 2012 ini baru memutuskan untuk mendirikan PT Multidaya Teknologi Nusantara yang juga dikenal sebagai Cybreed agar bisa memasarkan eFishery.
Teknologi gubahan Gibran ini merupakan sebuah solusi bagi para penambak ikan yang sering mengalami kerugian lantaran terlalu banyak pakan yang terbuang, hingga sulitnya membagi waktu lantaran harus memberikan pakan ikan tepat waktu. Tentu apa yang ditawarkan Gibran ini sangat membantu sektor perikanan, terutama bagi penambak ikan karena mengingat sektor ini jarang disentuh oleh technology entrepreneur untuk melahirkan inovasinya.
Salah satu hal yang membuat eFishery unggul adalah tersematnya sensor yang bisa menangkap nafsu makan ikan sehingga tak akan ada pakan yang terbuang. Bahkan para penambak bisa menerima laporan secara real time di smartphone.
Berkat penemuannya ini, Gibran pun berhasil merengkuh berbagai penghargaan, mulai dari Best of the Best Young Entrepreneur Indonesia 2013, Finalis Indonesia ICT Award (INAICTA) 2013, Juara Get in The Ring 2014, Juara 1 Spark Fire Pitch 2015, Finalis Seedstar World 2015, hingga masuk jajaran Forbes 30 Under 30 Asia 2017.
Mendapat Pendanaan Pra-Seri A
Sejak dipasarkan pada 2014, sebab manfaat yang diberikan dan harga yang masih terjangkau, eFishery pun dengan cepat mampu memikat hati para penambak untuk membelinya. Hasilnya, ratusan eFishery berhasil terjual dan didistribusikan ke beberapa kota di Pulau Jawa.
Bahkan menginjak tahun 2015, eFishery secara mengejutkan mampu mendapatkan pendanaan pra-seri A dari dana investasi asal Belanda, Aqua-Spark dan modal ventura asal Indonesia, Ideosource. Namun, saat itu Gibran tak menyebutkan besaran investasi yang diterima.
Sebab mendapatkan dana segar, Gibran pun memilih menggunakan dana tersebut untuk memperluas pasar massif di Indonesia. Kalimantan, Sulawesi, dan Lampung menjadi tiga wilayah baru yang dimasuki eFishery.
Berbagai strategi pun diusung oleh Gibran, salah satunya dengan menawarkan sistem sewa kepada para penambak yang tak mampu membeli harga satu unit eFishery—antara Rp 5,8 juta-Rp 7,8 juta. Harga sewa yang ditawarkan pun relatif murah, yakni Rp 300 ribu per bulan. Dengan demikian, para penambak kecil pun dapat merasakan teknologi tersebut tanpa terbebani.
Di tahun 2017, eFishery bahkan sudah berekspansi ke beberapa negara di ASEAN melalui proyek percontohan, seperti di Thailand, Bangladesh, dan Singapura. Bahkan, beberapa negara di luar ASEAN, seperti India, Brazil, Tiongkok, dan sejumlah beberapa negara di Afrika.