Jeruk Bali Madu merupakan jenis Jeruk Bali yang tidak memiliki biji. Di Pati, warga juga menyebut jeruk besar ini dengan nama Jeruk Bageng, dan akhir-akhir ini nama yang populer adalah Jeruk Bali Madu. Jeruk berkulit tebal ini juga dikenal dengan nama Pomelo di pasar internasional. Ciri khas Jeruk Bali Madu yang tidak memiliki biji ini rasanya manis dan tidak getir, banyak mengandung air dan empuk tanpa ampas di mulut dengan warna daging buah kemerah-merahan.
Sukir, salah satu pembudidaya Jeruk Bali Madu tanpa biji mengatakan usaha Jeruk Bali Madu ini dimulai dari ketidaksengajaan. Awalnya pohon Jeruk Bali Madu itu dimiliki oleh mertuanya, H. Suradi.
“Usaha ini sebenarnya dimulai dari ketidaksengajaan. Dahulunya mertua saya tidak mengijinkan saya untuk menanam tanaman ini karena kolotnya orang kuno yang menganggap bahwa hanya dengan bertanam padi anak cucu bisa makan. Di awal penanaman saya hanya mencoba dengan 5 buah pohon saja di area lahan seluas ¼ Ha yang diberikan oleh Mertua,” papar pria berkacamata itu.
Usaha Jeruk Bali Madu ini dimulai sejak tahun 1989, dan pembibitan secara besar-besaran dimulai sekitar awal tahun 2000. Modal awalnya juga terbilang sangat kecil, saat itu hanya Rp 2.500 saja, karena satu bibit Jeruk Bali Madu pada saat itu dihargai Rp 500/batang. Namun dari 5 batang bibit tersebut ia mampu membuat beberapa cangkokan lagi dan ditanam lagi di sekeliling pohon/sawah yang masih kosong di lokasi yang sama. Akhirnya usaha Sukir mampu berkembang hingga sekarang ini keseluruhan luas lahannya mencapai 5 Ha yang berlokasi di Desa Bageng, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Prospek dan Persaingan
Budidaya Jeruk Bali Madu tanpa biji sangat menjanjikan. Pasalnya, tanaman Jeruk Bali Madu tanpa biji selain terbilang gampang dalam perawatan, juga cenderung cepat berbuah. Jeruk Bali Madu tanpa biji pun memiliki segmen market mayoritas kelas menengah ke atas dan saat ini pelaku usaha jeruk ini masih terbilang sedikit, jadi peluangnya masih sangat terbuka lebar. Sukir juga giat menggalakkan para pemuda di desanya untuk turut menanam Jeruk Bali Madu tanpa biji di pekarangan rumah masing-masing, dan ia pun membuka tawaran menjadi pedagang.
“Jadi selain budidaya sendiri, saya juga siap menampung hasil panen dari pedagang kecil,” ujar Sukir.
Menurut Sukir gempuran Jeruk Bali impor merupakan pesaing bagi Jeruk Bali Madu tanpa biji. Selama ini Jeruk Bali atau Pomelo dari Malaysia dan Hongkong dihargai lebih tinggi di pasaran. Hal itu karena citra jeruk impor yang lebih baik dibandingkan dengan jeruk lokal walaupun soal kualitas tidak kalah. Meski begitu ia tak gentar menghadapi serbuan buah jeruk impor.
“Jeruk Bali Madu tanpa biji khas Pati memiliki keistimewaan tersendiri, semuanya saya serahkan saja kepada konsumen yang menikmatinya,” papar Sukir.
Harga
Buah Jeruk Bali Madu tanpa biji yang dijual Sukir terbagi dalam beberapa tingkatan atau grade. Yakni, grade A atau super yang memiliki ukuran berat antara 2-4 kg seharga Rp 15 ribu/kg, grade B berat 1,5-2 kg seharga Rp 14 ribu/kg, grade C berat 1-1,5 kg Rp 12-13 ribu/kg. “Grade A dan B biasanya dipasok khusus ke supermarket buah, sedangkan grade C dipasok ke pasar-pasar tradisonal,” terang Sukir.
Tak jauh berbeda dengan buah, harga eceran untuk bibit Jeruk Bali Madu dijual Sukir secara beragam, mulai dari Rp 50 ribu-1,5 juta tergantung ukuran, media tanam dan pemesanan. Ukuran yang dijual mulai 75 cm sampai 1,5 meter untuk polybag, dan 1 – 2 meter untuk tabulampot. Bibit ukuran 75 cm Rp 50-60 ribu/batang, ukuran 1,5 meter seharga Rp 65-75 ribu/batang, ukuran 1-2 meter dijual seharga Rp 100 ribu/batang (dalam polybag) dan Rp 1,5 juta (dalam tabulampot).
Pemasaran
Sukir memasarkan Jeruk Bali Madu tanpa biji melalui event pameran seperti Pameran Trubus Agro Expo 2006 di Taman Bunga Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur. Saat itu, ia membawa sekitar 2 truk (setara 8 ton buah Jeruk Bali Madu tanpa biji). Pada pameran itulah Jeruk Bali Madu menyedot perhatian pengunjung dan sesama peserta stand. Tak hanya memasarkan lewat event pameran agribisnis saja, Sukir juga berekspansi memasarkan Jeruk Bali Madu tanpa biji ke supermarket, pasar modern serta pasar tradisonal.
“Pada tahun 2006 saya sudah mulai masuk ke pasar modern di mal. Sedikitnya saya memasok ke All Fresh Jakarta, Sri Ratu di Semarag, dan Swalayan Rita di Purwokerto,” katanya.
Diakui Sukir, biasanya dalam sebulan ia memasok buah Jeruk Bali Madu tanpa biji ke Supermarket dan Pasar Modern sebanyak 1,5 ton dengan harga jual sekitar Rp 11-35 ribu/kg (biasanya grade A dan B), dan 500 kg untuk pasar-pasar tradisonal. Harga jual jeruk di Supermarket tersebut biasanya meningkat hingga 20-30%. Berkat perluasan pasar seperti lewat pameran dan toko-toko buah, Sukir berhasil menikmati harga yang lebih stabil.
Tak puas berjualan offline, Sukir pun memasarkan bibit dan buah Jeruk Bali Madu tanpa biji lewat dunia internet. Tak ayal, pesanan bibit dan buah jeruknya juga laris manis diburu konsumen dari berbagai penjuru kota besar seperti Jakarta, Semarang, Purwokerto dan Surabaya. Ia tak membatasi minimal pembelian hanya saja ongkos kirim ditanggung pihak pembeli, dan pembayaran dilakukan secara cash. Pemesanan bisa via telepon atau datang langsung ke lokasi usahanya.
Dalam sebulan Sukir mampu memanen Jeruk Bali Madu tanpa biji sekitar dua ton, dan bisa terjual hingga ribuan bibit Jeruk Bali Madu tanpa biji. Jika diasumsikan dalam sebulan ia menjual bibit Jeruk Bali Madu tanpa biji sebanyak 500 bibit dengan harga rata-rata Rp 60 ribu/batang, dan buah jeruk sebanyak 2 ton dalam berbagai tingkatan grade, maka omset yang dikantongi Sukir bisa mencapai Rp 58 juta/bulan.
Keuntungan yang diraupnya pun terbilang lumayan besar, yakni sebanyak 30% dari omset atau sebesar Rp 17,4 juta/bulan. Ia pun berbagi tips sukses mengembangkan usaha Jeruk Bali Madu tanpa biji, “Pada intinya kita harus tekun, telaten, dan jangan menyerah serta gampang puas terhadap hasil yang dicapai,” ungkapnya