Pidato Megawati “Sindir” Praktik Politik Kekuasaan Jokowi? Suasana perayaan HUT ke-51 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kali ini menghadirkan suasana yang berbeda dari perayaan sebelumnya. Pidato politik yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, mencatatkan beberapa hal penting yang patut diperhatikan. Berikut adalah enam catatan kritis terkait pidato Megawati tersebut.
Pertama, terlihat bahwa suasana kebatinan pada acara ini terkesan kelabu dan agak tegang. Pidato Megawati juga terasa berbeda dari pidato-pidato sebelumnya yang penuh semangat dan ceria. Selain menjelaskan nilai-nilai dan filosofi kebenaran dalam menjalankan kekuasaan, pidato kali ini banyak memuat keluhan dan keresahan.
Kedua, meskipun tidak secara langsung menyebutkan nama Jokowi, isi pidato Megawati mengandung sentilan dan sindiran politik yang ditujukan pada pribadi Jokowi. Misalnya, ketika Megawati menjelaskan bahwa partai politik adalah penentu calon presiden dan calon wakil presiden, ia seakan-akan mengkritik Jokowi yang telah menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi dan melemahkan kedaulatan partai politik. Selain itu, penjelasan Megawati yang memberikan tugas kepada calon presiden dan calon wakil presiden juga dapat diartikan sebagai klarifikasi terhadap konsep “petugas partai” yang baru-baru ini dipertanyakan oleh Jokowi.
Ketiga, tudingan-tudingan yang disampaikan oleh Megawati mengindikasikan protes terhadap praktik kekuasaan saat ini, di mana hukum sering kali diabaikan, kekuasaan digunakan secara sewenang-wenang, dan etika serta moral politik dilanggar demi mempertahankan kekuasaan. Ekspresi keras “No, no, no!” yang diulang tiga kali oleh Megawati mencerminkan sikap penolakan terhadap perilaku kekuasaan saat ini.
Pidato Megawati pada perayaan HUT ke-51 PDIP kali ini membahas Kekuasaan
Keempat, ekspresi keras yang ditunjukkan oleh Megawati menggambarkan bahwa PDIP merasa terluka dan siap untuk memberikan respons tegas kepada pihak yang telah melukainya. Pernyataan Megawati ini tampaknya menjadi titik perpisahan antara PDIP dan Jokowi.
Kelima, pidato Megawati kali ini juga menegaskan bahwa PDIP secara resmi telah berperan sebagai kekuatan oposisi. Megawati kembali mengkritik praktik kekuasaan saat ini yang dianggapnya mirip dengan Orde Baru, yang merupakan musuh bebuyutan dalam sejarah PDIP dan karir politik Megawati. Megawati mencontohkan praktik kekuasaan yang mirip dengan Orde Baru, seperti intimidasi menjelang pemilu, lemahnya penyelenggara pemilu, kurangnya netralitas TNI dan Polri, serta praktik politik yang memecah belah. Untuk mengokohkan sikap politiknya, Megawati berupaya merangkul kekuatan masyarakat sipil, mahasiswa, dan media, sesuatu yang jarang dilakukannya selama sembilan tahun terakhir ketika berada di posisi kekuasaan.
Terakhir, yang unik adalah meskipun Megawati keras dalam menyampaikan protes terhadap praktik kekuasaan saat ini, ia tetap memilih sikap yang aman dan tidak tegas, seperti keluar dari pemerintahan Jokowi, menarik semua kader PDIP dari posisi menteri, atau bahkan memecat Jokowi dari PDIP.
Dari keenam catatan tersebut, terlihat bahwa pidato Megawati pada perayaan HUT ke-51 PDIP kali ini memiliki nuansa yang berbeda dan mengandung kritik terhadap praktik kekuasaan saat ini. Megawati menekankan pentingnya menjaga kebenaran dalam laku kekuasaan, memperkuat peran oposisi PDIP, serta merangkul kekuatan masyarakat sipil, mahasiswa, dan media. Namun, sikap yang diambil Megawati masih terbilang hati-hati dan tidak berani mengambil langkahSuasana perayaan HUT ke-51 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. Berikut adalah enam catatan penting mengenai pidato politik yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno putri.