Berempat.com – Dalam menyikapi revolusi industri 4.0, seluruh pemangku kepentingan tidak boleh hanya fokus pada pengembangan kompetensi SDM saja. Lebih dari itu, Generasi-Z (Gen-Z) harus diperkuat pada aspek soft skill-nya.
“Selain kemampuan teknis, hal lain yang tak kalah pentingnya diberikan kepada para tenaga kerja adalah bekal soft skill atau transversal skill,” ujar Direktur Bina Kelembagaan Pelatihan Kementerian Ketenagakerjaan Dudung Heryadi dalam keterangan resminya, Jumat (19/10).
Gen-Z adalah generasi yang lahir dari tahun 1995 hingga sekarang. Gen-Z menjadi topik pembicaraan dunia karena generasi ini akan mendominasi populasi manusia di masa depan. Generasi inilah yang akan berjibaku dengan dinamika era revolusi industri 4.0.
Bloomberg of United Nation memberi label Gen-Z sebagai generasi realis, inovatif, dan mandiri. Oleh karenanya, penguatan soft skill menjadi penting bagi Gen-Z sebagai bekal untuk menghadapi perkembangan zaman.
Hanya saja, penanaman soft skill yang mencakup karakter inti manusia seperti kreativitas, imaginasi, intuisi, emosi, dan etik membutuhkan waktu yang tidak singkat.
“Oleh karena itu, sinergi lembaga pelatihan, BLK dengan dunia pendidikan menjadi sangat penting dalam memastikan internalisasi soft skill,” ujarnya.
Menurut Dudung, soft skill sangat penting untuk ditenkankan bagi Gen-Z. Karena, dalam laporan World Economic Forum, 80% skill yang diperlukan tenaga kerja untuk bisa bersaing dalam era revolusi industri 4.0 adalah penguasaan soft skill. Selebihnya, technical skill hanya berada dalam skala 12%.
Secara lebih rinci, 3 di antara 10 skill yang diperlukan saat ini adalah complex problem solving, critical thinking, dan creativity. Selain soft skill, penanaman jiwa kewirausahaan dan penguasaan teknologi digital juga menjadi bagian penting dalam upaya mencetak tenaga kerja yang siap berkompetesi.
Dalam kesempatan ini, Dudung juga menyebut beberapa langkah pemerintah untuk menghadapi tantangan perubahan era revolusi industry 4.0. Di antaranya, kebijakan link and match untuk memastikan kompetensi SDM sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dengan industri yang berbasis teknologi digital.
“Dengan demikian, konsep pendidikan dan pelatihan kerja mengacu kepada kebutuhan dunia industri,” kata Dudung.
Selain itu, pemerintah juga mengambil kebijakan masifikasi pelatihan kerja dan sertifikasi profesi. Strategi ini dibingkai dalam kebijakan Triple Skilling, yaitu skilling; up-skilling; dan re-skilling.
“Ketiga kebijakan ini menjadi penting untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja terampil sekarang dan di masa yang akan datang,” paparnya.