Jakarta – Anggota DPR RI komisi VII, Mulyanto, minta Pemerintah fokus kendalikan harga kebutuhan pokok daripada berwacana perpanjang masa jabatan presiden.
Menurutnya, Pemerintah lebih baik mengerjakan hal yang bermanfaat bagi rakyat daripada mengeluarkan pernyataan yang bikin gaduh masyarakat.
Masyarakat sudah jenuh menghadapi kegaduhan akibat perbedaan pendapat. Mereka ingin Pemerintah berbuat sesuatu yang nyata. Sesuatu yang dapat meringankan beban hidup yang semakin berat.
“Pemerintah lebih baik fokus urus harga kebutuhan pokok yang terus naik. Selain minyak goreng, kedelai dan daging sapi yang telah naik terlebih dahulu, baru-baru ini Pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM dan LPG non-subsidi. Bahkan LPG non subsidi mengalami kenaikan dua kali, tanggal 25 Desember 2021 dan 28 Februari 2022, hanya berselang dua bulan ” kata Mulyanto.
Terkait masalah ini, Mulyanto yang Wakil Ketua FPKS DPR RI mendesak Pemerintah dan elit politik untuk fokus dalam rangka mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat menjelang bulan Ramadhan 2022 ini. Pemerintah jangan memperkeruh suasana dengan mengangkat isu penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf serta rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).
“Tolong Pemerintah fokus pada hal-hal produktif dalam menyelesaiakan masalah-masalah konkret masyarakat di tengah pandemi COVID-19 yang belum tuntas dan kasus positif harian varian Omicron masih tinggi.
Jangan mengumbar syahwat kekuasaan dan melabrak konstitusi. Terlalu mewah di tengah kondisi sulit masyarakat seperti sekarang ini, penguasa politik malah egois berpikir untuk memperpanjang kursi kekuasaannya,” tegas Mulyanto.
Mulyanto mendesak Pemerintah mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif, yang tidak memicu inflasi dan membebani rakyat di saat pandemi COVID-19 yang belum usai.
“Ini adalah tugas penting dan strategis negara. Jangan malah sebaliknya mengembangkan diskursus yang kontraproduktif,” imbuhnya.
Mulyanto menambahkan, defisit transaksi berjalan sektor migas, akibat melonjaknya harga migas dunia, sebenarnya dapat dikompensasi dengan penerimaan ekspor komoditas energi lainnya seperti: batu bara, gas alam dan CPO yang harganya juga melejit menuai wind fall profit.
Apalagi ketika iklim investasi yang semakin kondusif ini dimanfaatkan untuk meningkatan produksi, maka penerimaan negara dari sektor ini akan semakin meningkat.
Jadi, menurut Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia, tidak otomatis harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM, gas LPG dan listrik PLN.
“Itu bukan satu-satunya opsi kebijakan. Ini kan soal kantong kiri dan kantong kanan, yang dapat saling mengkompensasi. Ada berbagai opsi kebijakan, dan Pemerintah diminta untuk mengambil pilihan kebijakan yang tidak memberatkan rakyat,” papar Mulyanto.
Untuk diketahui defisit transaksi berjalan (DTB) sektor migas, karena impor minyak dan LPG, pada tahun 2019 sebesar USD 10 milyar. Sedikit menurun, karena pandemi menjadi USD 10 milyar pada tahun 2020. Kemudian kembali meningkat menjadi USD 13 milyarpada tahun 2021. Artinya pada tahun 2021 terjadi peningkatan defisit transaksi berjalan sebesar USD 3 milyar.
Di sisi lain, sebagai ilustrasi, penerimaan negara dari ekspor batubara dan CPO pada tahun 2020 masing-masing sebesar 16 milyar USD dan 18 milyar USD. Kemudian meningkat masing-masing menjadi 27 milyar USD dan 29 milyar USD pada tahun 2021. Artinya pada tahun 2021 terjadi peningkatan devisa dari dua komoditas energi ini, yakni sebesar USD 22 milyar.
Jadi sebenarnya untuk menutupi kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas pada tahun 2022 dapat dikompensasi dari kenaikan penerimaan ekspor komoditas batubara dan CPO pada tahun 2022.