Jakarta – Konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan melejitnya harga komoditas energi dunia, harusnya Pemerintah bisa memanfaatkan kondisi ini untuk meningkatkan kinerja produksi komoditas energi nasional.
Hal tersebut perlu dilakukan agar Indonesia dapat mengurangi risiko defisit transaksi berjalan melalui peningkatan pendapatan dari sektor migas dan minerba.
Demikian kata anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto kepada media, Senin, 28/2/2022.
Mulyanto menilai tingginya harga migas dunia adalah angin segar bagi iklim investasi sektor migas domestik, yang sebelumnya sempat merosot karena diterpa isu energi baru terbarukan (EBT).
Kondisi ini juga merupakan kesempatan baik bagi industri migas untuk meningkatkan eksplorasi dalam rangka menggenjot produksi.
Menurutnya, peningkatan produksi minyak domestik secara langsung dapat mengurangi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor BBM, sekaligus menekan defisit transaksi berjalan di sektor migas.
Sementara itu, ekses produksi gas alam yang bertambah dapat meningkatkan kinerja ekspor komoditas energi ini di tengah harganya yang melambung, dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa negara.
“Logika yang sama juga berlaku untuk komoditas batubara, yang akhir-akhir ini menjadi durian runtuh alias windfall profit bagi PNBP kita. Termasuk juga ekspor komoditas CPO.
Artinya, melonjaknya harga energi dunia, yang akan menguras devisa kita untuk keperluan impor migas, sebenarnya dapat dikompensasi dengan penerimaan ekspor komoditas energi lainnya seperti: batu bara, gas alam dan juga CPO.
Apalagi ketika iklim investasi di bidang energi ini semakin kondusif, yang mendorong peningkatan produksi komoditas energi kita, maka penerimaan negara tersebut pun akan semakin meningkat,” kata Mulyanto.
Jadi, menurut Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia, sejatinya punya dua sisi, yakni sisi negative dan sisi positif. Secara normatif tugas pemerintah adalah mengurangi pengaruh sisi negatif dan meningkatkan pengaruh sisi positifnya bagi pembangunan nasional.
“Jadi tidak otomatis kenaikan harga komoditas energi dunia, yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina ini, harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM, gas LPG dan listrik domestik.
Kenaikan harga energi tersebut di atas bukanlah satu-satunya opsi kebijakan yang tersedia bagi kita. Pemerintah harus mengembangkan berbagai opsi kebijakan yang inovatif, yang tidak memicu inflasi dan membebani rakyat di saat pandemi Covid-19 yang belum usai ini. Itulah tugas negara,” terang Mulyanto.
Sebagai informasi, beberapa negara eksportir migas, termasuk AS dikabarkan tengah bersiap untuk meningkatkan eksplorasi dan memperluas ladang-ladang migas mereka, di tengah peluang melejitnyanya harga migas dunia.
Institut Perminyakan Amerika (API) tengah berusaha melakukan berbagai terobosan dalam rangka mengkapitalisasi peluang tersebut. API, yang mewakili ratusan perusahaan sektor migas, menganggap di tengah momen perang antara Rusia-Ukraina, Gedung Putih wajib memberi kelonggaran bagi pemain minyak di AS melakukan pengeboran serta mencari sumur minyak baru di daerah-daerah yang selama ini belum disentuh.