Top Mortar Gak Takut Hujan
Home News Pemerintah Diminta Kembalikan Status Eijkman

Pemerintah Diminta Kembalikan Status Eijkman

0
(Dok: pexels/ Tara Winstead)

Jakarta – Pemerintah diimbau tidak memaksakan kehendak melebur semua lembaga penelitian ke dalam BRIN. Karena hal ini bukan saja akan menimbulkan kegaduhan tapi juga dapat mengganggu aktivitas penelitian tanah air.

Memperhatikan segala dampak negatif yang akan terjadi akibat perubahan status kelembagaan penelitian biologi molekuler Eijkman, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto minta Pemerintah mau mendengar masukan para ahli.

“Pemerintah sebaiknya mengembalikan status Lembaga Biologi Molekular Eijkman seperti semula yakni sebagai lembaga riset independen yang bertanggung-jawab langsung kepada Menteri.

Jangan dilebur ke dalam BRIN dan sekedar menjadi sebuah unit kerja setingkat pusat, karena dengan melebur itu sama dengan membunuhnya,” demikian disampaikan Mulyanto dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Kepala BRIN dan mantan pimpinan LBM Eijkman, Senin, 17/1/2022.

Mulyanto mengaku dirinya mengikuti perkembangan aktivitas LBM Eijkman (sekarang Pusat Riset Biologi Molekular Eijkman) sejak masih menjabat sebagai Sesmenristek di tahun 2010. Menurutnya perkembangan LBM Eijkman sangat luar biasa karena berhasil ditetapkan sebagai salah satu PUI (Pusat Unggulan Iptek) oleh Kemenristek.

“Produktivitas risetnya tinggi dan berkualitas. Hari ini saja rata-rata satu orang peneliti berhasil menerbitkan 2 buah karya ilmiah di jurnal internasional bergengsi. Tidak banyak lembaga riset dengan kualifikasi seperti itu.

Prestasi tersebut bisa dicapai karena fleksibilitas kelembagaan LBM Eijkman. Eijkman bukan lembaga riset seratus persen Pemerintah, yang secara organik berada di bawah Kemenristek. Namun ia adalah lembaga yang bertanggungjawab kepada Menristek secara langsung sejak zaman Habibie,” jelas Mulyanto.

“Sebagian anggaran memang dibantu oleh Kemenristek, namun LBM Eijkman secara leluasa dapat bekerjasama dengan lembaga riset nasional dan internasional lalu mengelola secara mandiri kelembagaannya. Sudah barang tentu terkait anggaran dan SDM Pemerintah dilaporkan akuntabilitasnya,” imbuh Mulyanto.

Lokasi laboratoriun LBM Eijkman yang dekat dengan FKUI/RSCM juga menjadi salah satu faktor keberhasilan itu. Sebab peneliti Eijkman jadi lebih mudah untuk mengakses data dan informasi kasus-kasus medis. Termasuk mengakses informasi peralatan dan bahan terbaru. Serta dimungkinkan untuk merekrut para doktoral medik FKUI, termasuk para dosennya, untuk ikut meneliti tema-tema riset unggulan mereka.

Dengan kondisi kelembagaan dan SDM unggulan di bidang biologi molekuler medik tersebut, terjadi akumulasi pengetahuan (knowledge production) yang sangat besar di lembaga ini.

“Jadi, kalau LBM Eijkman dilebur ke dalam BRIN, dimana SDM dan lokasinya cerai-berai, maka ini sama juga dengan membunuhnya,” tandas Mulyanto.

“Ruh dan budaya riset, jiwa korsa dan soliditas kelembagaan LBM Eijkman akan hilang. Membangun kelembagaan riset itu tidak seperti membangun gedung atau menata barang. Lembaga itu benda hidup bukan benda mati,” tegasnya

Exit mobile version