Jakarta – Beberapa perusahaan Migas memutuskan hengkang dari Indonesia. Sekaligus memilih tidak meneruskan operasional di wilayah kerja Indonesia dan lebih memilih berinvestasi di negara lain.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai kerugian besar akan dialami Indonesia apabila Pemerintah menganggap enteng dan lambat bersikap atas hengkangnya investor kakap minyak dan gas (migas). Target lifting Migas satu juta barel per hari di tahun 2030 pun hanya tinggal rencana, pendapatan negara terancam anjlok dan Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor migas.
“Kalau kondisi ini terus berlanjut, maka penerimaan negara dari sektor migas akan terancam merosot. Sementara net impor migas akan semakin tinggi. Sedang target satu juta barel minyak per hari di tahun 2030 tinggal menjadi mimpi. Ini adalah kondisi yang tidak kita inginkan,” jelas Mulyanto kepada wartawan, Kamis (16/12/2021).
Pemerintah, lanjutnya, harus ekstra kerja keras mencari jalan keluar. Jangan sampai kita terlanjur dinilai sebagai negara yang tidak menarik bagi tujuan investasi sektor migas. Pasalnya, harus diakui, akibat kuatnya isu perubahan iklim, bisnis Migas memasuki fase senja. Konsekuensinya, kompetisi bagi investasi di sektor migas semakin ketat.
Menurutnya, kompetisi itu bukan hanya terjadi antar negara penghasil Migas yang satu dengan lainnya, tetapi juga antara bisnis migas dengan bisnis energi baru-terbarukan. Tren perusahaan migas yang bertransformasi menjadi perusahaan energi semakin marak.
Sementara itu, tingkat risiko bisnis migas dirasakan semakin tinggi. Selain karena faktor Covid-19 juga dalam hal-hal tertentu terkait dengan ‘perang’ perebutan sumber daya alam seperti sekarang ini yang nampak di Laut China Selatan, dimana manuver China telah mengganggu keamanan aktivitas penambangan migas.
“Ke depan, pemerintah harus mengambil langkah-langkah konkret terkait pembangunan iklim investasi khususnya di sektor migas ini, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Termasuk, insentif fiskal, kemudahan berinvestasi, serta kepastian hukum,” ungkapnya.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, Pemerintah perlu serius memikirkan nasib Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, yang sudah hampir 10 tahun menjadi lembaga yang bersifat sementara di bawah Kementerian ESDM, sesuai hasil keputusan MK perlu revisi UU Migas terkait Kelembagaan Hulu Migas ini.
Untuk diketahui ConocoPhillips hengkang dari Blok Corridor (Corridor PSC), Sumatra Selatan pada tanggal 8 Desember 2021 lalu, dan pindah ke Australia. Sebelumnya Royal Dutch Shell Shell dilaporkan melepas 35 persen sahamnya di Blok Masela. Chevron yang menyatakan menarik diri dari proyek Deep Water Development (IDD), Kalimantan Timur setelah menyerahkan Blok Rokan kepada Pertamina.
Sementara itu, Total dilaporkan sudah menghentikan aktivitas operasinya di Blok Mahakam per 1 Januari 2018 lalu setelah dikelola selama 50 tahun. Dari sisi investasi sendiri dilaporkan, bahwa investasi sektor migas hingga kuartal III 2021 tercatat baru mencapai 9,07 miliar dollar AS atau 53,95 persen dari target sebesar 16,81 miliar dollar AS untuk tahun ini.
“Capaian yang rendah ini terjadi baik di hulu maupun di hilir sektor migas, termasuk keterlambatan proses pembangunan kilang Pertamina,” pungkas politisi dari Fraksi PKS ini.