Data Kementerian Keuangan menunjukkan kinerja rasio pajak (tax ratio) di era pemerintahan Jokowi cenderung masih cukup rendah. Pasalnya jika dirata-rata total rasio pajak 2014 – 2019 hanya berkisar di angka 11,6%. Jauh dari standar International Monetary Fund (IMF) yang mensyaratkan rasio pajak di atas 15% untuk melakukan pembangunan berkelanjutan.
Tak hanya itu, angka rasio pajak yang masih di bawah 12% juga menunjukkan proses pemungutan pajak belum cukup optimal. Rasio pajak merupakan perbandingan penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio pajak kerap digunakan sebagai indikator untuk menilai penerimaan pajak suatu negara.
Pemerintah menetapkan target tax ratio hingga 12,4 persen pada tahun 2020. Nilai tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi tax ratio tahun 2018 sebesar 11,4 persen dan target pada tahun 2019 sebesar 12,2 persen.
Sementara itu, pada 2021, targetnya antara 11,9 persen sampai 12,6 persen dan kisaran 12,1 persen sampai 13 persen pada 2022. Pada 2023, sekitar 12,3 persen-13,3 persen dan pada 2024 berada pada rentang 12,5 persen-13,7 persen.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemerintah sudah memiliki berbagai upaya untuk mencapai target tersebut. Di antaranya, meningkatkan kepatuhan dan jumlah wajib pajak, penegakan hukum hingga mekanisme perpajakan yang mudah bagi masyarakat. Hal ini dilakukan guna memaksimalkan penerimaan pajak yang sebelumnya masih shortfall.
Pemerintah optimistis, target tersebut dapat tercapai. Tapi, semuanya tergantung kepada kemampuan pemerintah dalam dua hal yaitu menjaga reformasi perpajakan dan intensitas kemampuan melakukan collection.
Menurutnya, cara utama yang bisa dilalkukan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dengan semakin mempermudah proses pembayaran pajak.
“Saya bilang sama Pak Robert (Dirjen Pajak) dan timnya. Saya ingin membayar pajak lebih mudah dari beli pulsa telepon, kalau beli pulsa dalam semenit kita bisa pakai mobile banking harusnya bayar pajak lebih mudah lagi,” ujar Sri Mulyani ketika memberikan paparan dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (17/7/2019).
Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto menilai ada beberapa faktor yang mempengaruhi tercapainya target rasio pajak. Dari sisi makro yaitu aspek pertumbuhan ekonomi. Kalau aktivitas ekonomi meningkat maka rasio pajak bisa terealisasi targetnya.
Tahun-tahun sebelumnya rata-rata rasio pajak tidak tercapai targetnya. Kalau mau mengejar target ke angka 12% butuh ekstra effort dan terobosan yang didukung oleh kondisi makro. Namun pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Kalau upaya terobosannya tidak signifikan, rasio pajak tahun ini kemungkinan sama seperti tahun lalu.
Kecuali ada beberapa strategi antara lain secara intensif potensi- potensi pajak harus lebih digali lagi, seperti misalnya tax amnesty, perbaikan data- data pajak, begitu juga dari sisi ekstensifikasi . Namun tantangannya dari aspek global tidak mendukung untuk mencapai target rasio pajak tahun ini maupun tahun depan. Terutama karena aspek perang dagang mempengaruhi total volume perdagangan. Kalau volume perdagangan menyusut akan mempengaruhi Pajak pertambahan Nilai (PPN) dan pendapatan masing masing karyawan per individu turun sehingga mempengaruhi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh). Jadi harus ada langkah- langkah untuk mencegah penurunan dari penerimaan PPN maupun PPh.
“Memang potensi pajak kita masih besar, tapi persoalannya tidak mudah untuk memperluas basis pajak. Belum tentu semua yang lapor pajak juga membayar pajak. Aspek- aspek itu yang harus lebih digali, termasuk potensi pajak dari e-commerce antara lain dari perusahaan start up di era digital ini. Perlu diberdayakan upaya -upaya yang berbasis pada pemanfaatan IT untuk mendongkrak penerimaan pajak. Misalnya untuk e-commerce memang ada potensi pajak, tapi perlu dilakukan pendekatan secara bertahap,” jelasnya.
Menurutnya jika rasio pajak tidak tercapai targetnya akan berdampak langsung pada defisit yang bisa melebar. Defisit keseimbangan primer memang cukup kecil hanya 0,01% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kalau target rasio pajak tidak tercapai, maka defisit itu harus ditutup dengan pembiayaan, salah satunya lewat utang. Dampak tidak langsung kalau target rasio pajak tidak tercapai terutama ke aspek perekonomian secara makro, sehingga kebijakan pemerintah untuk menstimulasi perekonomian menjadi tumpul.