Top Mortar Gak Takut Hujan
Home Ekonomi INDEF Sebut Skenario RAPBN 2020 Berbahaya Bagi BUMN

INDEF Sebut Skenario RAPBN 2020 Berbahaya Bagi BUMN

0

Pemerintah menargetkan rasio pajak (tax ratio) mencapai kisaran 11,8 persen – 12,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.

Target tersebut tak jauh berbeda dengan tahun 2019 sebesar 12,2 persen. Begitu pula dengan rasio pajak pada 2018 sekitar 11,6 persen terhadap PDB. Sebagai informasi, rasio pajak merupakan perbandingan penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional atau PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan target tersebut ditentukan demi mengisi pos penerimaan negara, guna menopang kebutuhan belanja negara dan mengakselerasi pertumbuhan serta pembangunan di Indonesia.

Adapun, defisit APBN 2020 ditargetkan sekitar 1,52 persen sampai 1,75 persen dari PDB. Target defisit anggaran itu lebih rendah dibandingkan target tahun ini sekitar 1,84 persen dari PDB.

“Kebijakan fiskal akan diarahkan untuk menstimulasi perekonomian sehingga dapat tumbuh pada level yang cukup tinggi. Maka APBN didorong agar semakin sehat dengan level pendapatan yang semakin optimal,” ucap Sri Mulyani saat penyampaian RAPBN 2020 dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (20/5).

Namun Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad menilai dari patokan target tersebut terlihat pemerintah cenderung pesimis terhadap kinerjanya tahun depan. Seharusnya pemerintah bisa mematok lebih tinggi terutama untuk target tax ratio.

Menurutnya target tax ratio tahun 2020 tersebut jauh lebih rendah dari target APBN 2019 yang sebesar 12,22 persen dari PDB.

“Prestasi tertinggi setelah krisis moneter yakni tax ratio sebesar 17,8 persen pada tahun 2008 lalu. Artinya tahun depan pemerintah kurang optimis terhadap penerimaan perpajakan nasional,” kata Tauhid Ahmad dalam diskusi bersama media di Jakarta, Kamis (23/5).

Dengan target rasio pajak yang mengecil ini, potensi penerimaan negara akan ikut menciut. Padahal di saat yang sama kebutuhan belanja semakin meningkat. Artinya terdapat masalah dalam kinerja di sektor perpajakan yang perlu diperhatikan, baik menyangkut basis data pajak, tingkat kepatuhan hingga kelembagaan perpajakan.

Sementara itu terkait dengan target defisit, memang lebih kecil dari tahun sebelumnya yang sebesar 1,84 persen PDB menjadi 1,52 – 1,75 persen PDB serta primary balance sebesar 0 – 0,23 persen dari PDB.

“Sstrategi ekspansif yang diusulkan pemerintah saat ini tidak terlalu kelihatan dalam hal penguatan daya saing untuk inovasi dan penguatan kualitas SDM. Strategi ekspansif umumnya diarahkan untuk mendorong belanja infrastruktur maupun memfasilitasi UMKM , termasuk mendorong daya beli masyarakat bawah,” jelasnya.

Kemudian untuk asumsi debt ratio di tahun 2020 berpotensi meningkat dari sebelumnya 29,67 persen dari PDB menjadi 29,4 – 30,1 persen dari PDB. Hal ini didasari bahwa kemampuan pajak mengalami pertumbuhan yang lambat, sementara defisit anggaran tetap besar.

Ia menilai meskipun defisit anggaran masih dalam batas aman di bawah 60 persen terhadap PDB, namun perlu kehati-hatian mengingat utang BUMN telah mencapai Rp5.271 triliun pada akhir tahun 2018.

Sementara utang pemerintah hingga Maret 2019 telah mencapai Rp4.567,31 triliun.
“(Jadi) dengan skenario 2020 itu akan sangat berbahaya bagi negara apabila pemerintah mengecilkan target kebijakan fiskalnya, kapasitas fiskal yang semakin terbatas akan menganggu kinerja BUMN dalam jangka panjang,” tambahnya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Exit mobile version