Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa arus modal asing kembali keluar dari pasar keuangan domestik pada pekan pertama Juni 2025. Meski demikian, nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan terbatas terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa dalam periode 2 hingga 4 Juni 2025, investor asing atau nonresiden mencatatkan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp4,48 triliun. Angka ini terdiri dari penjualan bersih sebesar Rp3,98 triliun di pasar saham dan Rp5,69 triliun di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), sementara terdapat pembelian bersih senilai Rp5,19 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
“Secara keseluruhan sepanjang tahun berjalan hingga 4 Juni 2025, investor asing masih tercatat melakukan jual bersih Rp46,67 triliun di saham dan Rp19,34 triliun di SRBI, namun juga melakukan beli bersih Rp46,70 triliun di pasar SBN,” ungkap Ramdan dalam keterangannya di situs resmi BI, Minggu (7/6/2025).
Rupiah Stabil, Dolar AS Tertekan Data Lemah
Sementara itu, indikator risiko keuangan Indonesia seperti Credit Default Swap (CDS) 5 tahun tercatat turun menjadi 76,99 basis poin (bps) per 4 Juni 2025, dari sebelumnya 78,12 bps pada 30 Mei 2025. Yield SBN tenor 10 tahun juga mengalami penurunan menjadi 6,78%.
Dari sisi nilai tukar, rupiah ditutup menguat pada kisaran Rp16.200 per dolar AS dalam perdagangan Kamis (5/6/2025). Rupiah sempat melemah hingga 25 poin ke level Rp16.284, namun akhirnya rebound dan menguat 10 poin ke posisi Rp16.230–Rp16.290.
Analis mata uang, Ibrahim Assuaibi, menyatakan bahwa pergerakan rupiah yang fluktuatif masih dipengaruhi oleh sentimen global, khususnya dari Amerika Serikat. “Pelemahan dolar AS didorong oleh laporan ADP yang jauh di bawah ekspektasi, menunjukkan melemahnya pasar kerja di AS,” jelasnya.
Data tenaga kerja versi ADP yang lebih rendah dari perkiraan ini menimbulkan kekhawatiran baru terhadap prospek ekonomi AS. Investor pun mulai berspekulasi bahwa Federal Reserve (The Fed) akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat.
Selain itu, Ibrahim juga menyoroti ketidakpastian kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump, terutama pasca kenaikan tarif impor baja dan aluminium menjadi 50%. “Langkah ini menambah tekanan pada pasar global yang sudah dibayangi perlambatan ekonomi,” tambahnya.