Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani berusaha dengan hati-hati dan teliti dalam mempelajari sebelum membayar utang negara sebesar Rp800 miliar kepada pengusaha tol, Jusuf Hamka.
Dalam hal ini, Ani (panggilan akrabnya) menyatakan bahwa kasus ini merupakan bagian dari persoalan masa lalu, di mana negara melikuidasi bank-bank pada saat krisis moneter tahun 1998. Ia menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dan memperhatikan afiliasi dari semua pihak terkait.
“Dalam hal keuangan negara, ini adalah sesuatu yang perlu kita pelajari secara teliti,” kata Ani di Kompleks DPR RI, Jakarta Pusat, pada hari Senin (12/6).
Bendahara Negara juga menggarisbawahi aset-aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum sepenuhnya dikembalikan kepada negara. Ia mempertanyakan mengapa negara masih terus ditagih oleh pihak terafiliasi setelah melakukan penyelamatan yang berat terhadap sejumlah bank saat krisis moneter.
“Kita tidak ingin negara yang telah membiayai penyelamatan bank-bank yang ditutup ini sekarang harus membayar pihak-pihak terkait yang mungkin masih terafiliasi pada saat itu,” tegas Ani.
Namun, Ani tidak mengabaikan proses hukum yang diajukan oleh pihak terkait, termasuk Jusuf Hamka. Namun, ia menekankan perlunya mempelajari hubungan keterikatan secara mendalam.
Di sisi lain, Ani menyebutkan bahwa Satgas BLBI yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD masih memiliki tagihan lain yang jumlahnya cukup signifikan.
“Sementara itu, aset BLBI yang dikembalikan kepada negara baru sebesar Rp30 triliun dari total Rp110 triliun,” jelasnya.
“Kami menghormati berbagai proses hukum, tetapi kami juga memperhatikan kepentingan negara dan keuangan negara, terutama karena ini melibatkan masalah yang sudah berlangsung cukup lama. Kami berharap agar Satgas BLBI membahasnya secara lebih detail,” tutup Ani.
Sementara itu, Menko Polhukam, Mahfud MD, mendorong Jusuf Hamka, bos PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), untuk menagih utang sebesar Rp800 miliar kepada Kementerian Keuangan. Bahkan, Mahfud menegaskan kesiapannya untuk memberikan bantuan teknis.
Sebelumnya, Jusuf Hamka menjelaskan bahwa utang tersebut berasal dari deposito perusahaannya, PT CMNP, di Bank Yakin Makmur atau yang dikenal dengan sebutan Bank Yama, yang tidak pernah dikembalikan setelah dilikuidasi pada krisis moneter tahun 1998.
Pemerintah berdalih bahwa CMNP terafiliasi dengan pemilik Bank Yama, yaitu Siti Hardijanti Hastuti Soeharto alias Tutut Soeharto. Namun, Jusuf Hamka yang akrab disapa Babah Alun membantah tuduhan tersebut.
Ia kemudian mengajukan gugatan dan berhasil memenangkan kasusnya di Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2015, di mana pemerintah diwajibkan untuk membayar deposito CMNP beserta bunganya sebesar 2 persen per bulan.
Jusuf mengklaim bahwa ia juga telah mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan sekitar tahun 2019-2020 untuk menagih pembayaran utang. Namun, ia mengeluhkan bahwa DJKN sulit dihubungi dengan alasan masih melakukan verifikasi di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).