Kenapa Thrifting Dilarang di Indonesia? Ini Dampak Ekonomi dan Nasib Pecinta Thrift

0
64
Kenapa Thrifting Dilarang di Indonesia? Ini Dampak Ekonomi dan Nasib Pecinta Thrift
Kenapa Thrifting Dilarang di Indonesia? Ini Dampak Ekonomi dan Nasib Pecinta Thrift (Dok Foto: Mazur Travel - stock.adobe.com)
Pojok Bisnis

Thrifting makin populer beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan anak muda yang suka gaya unik tanpa harus keluar banyak uang. Tapi ketika muncul kabar bahwa thrifting dilarang di Indonesia, banyak yang bingung dan protes. Aktivitas berburu pakaian bekas impor yang dulu dianggap tren ramah kantong, kini bertemu aturan ketat pemerintah. Wajar kalau muncul pertanyaan: kalau thrifting dilarang di Indonesia, lalu bagaimana nasib para pecinta thrift dan pelaku bisnisnya? Dan sebenarnya apa sih alasan ekonomi di balik pelarangan ini?

Kalau diperhatikan, isu thrifting dilarang di Indonesia bukan cuma soal pakaian bekas. Di baliknya ada dampak pasar tekstil lokal, UMKM fesyen, sampai kesehatan dan rantai distribusi ilegal yang disorot pemerintah. Jadi, mari bahas lebih dalam agar gambaran besarnya makin jelas.

Banyak yang selama ini menganggap thrifting itu sekadar kegiatan hemat uang dan mencari barang vintage, tapi dari sudut pandang kebijakan ekonomi negara, konteksnya jauh lebih luas.

Dampak Ekonomi dan Alasan Kenapa Thrifting Dilarang

Pertama, masuknya pakaian bekas impor dinilai bisa “menggerus” pasar industri tekstil lokal. Indonesia punya ekosistem produksi pakaian yang besar, mulai dari pabrik tekstil, penjahit rumahan, hingga brand lokal kreatif yang lagi berkembang pesat. Kalau pasar dipenuhi barang bekas impor yang harganya sangat murah, pelaku industri dalam negeri bisa kehilangan daya saing. Pada akhirnya, ini memengaruhi lapangan kerja dan keberlangsungan sektor industri kreatif dan manufaktur tekstil nasional.

PT Mitra Mortar indonesia

Kedua, ada alasan kesehatan. Pakaian bekas impor sering lewat jalur tidak resmi sehingga proses sanitasi dan kebersihan tidak bisa dijamin. Pemerintah menilai ada risiko penularan jamur kulit, bakteri, atau virus dari barang yang tidak melalui proses sterilisasi standar.

Ketiga, ada unsur ilegalitas dalam rantai distribusinya. Banyak barang thrifting masuk tanpa bea masuk resmi. Ini menyulitkan pengawasan, mengurangi pendapatan negara dari pajak, dan berpotensi menciptakan jaringan penyelundupan.

Dari sisi kebijakan, negara berusaha melindungi industri dan memastikan regulasi perdagangan berjalan rapi. Jadi pelarangan ini bukan semata mematikan kreativitas, tetapi lebih ke pengaturan ekosistem pasar agar adil bagi semua pelaku usaha.

Lalu Bagaimana Nasib Pecinta Thrifting dan Pelaku Usahanya?

Meski aturan makin ketat, bukan berarti tren thrifting akan hilang begitu saja. Selera anak muda terhadap fesyen unik tidak otomatis lenyap hanya karena regulasi berubah. Yang berubah adalah cara mendapatkan barangnya.

Ada peluang baru yang bisa jadi jalan keluar:

  • Thrifting lokal: Barang preloved dari dalam negeri, baik dari individu maupun thrift store lokal, tetap legal selama tidak melibatkan impor ilegal. Ini bisa melahirkan ekosistem preloved lokal yang lebih sehat.

  • Kurasi brand pre-loved premium: Banyak konsumen mulai tertarik item branded second-hand yang terjamin keasliannya. Peluang reseller dan kurator fashion tetap terbuka.

  • Brand lokal sustainable fashion: Banyak desainer lokal mulai memakai bahan daur ulang dan konsep slow fashion. Momen ini bisa jadi kebangkitan industri berbasis keberlanjutan.

  • Jasa restyle & upcycle pakaian: Kreator muda bisa mengubah pakaian lama jadi produk baru yang lebih stylish. Ini bisa jadi tren keren sekaligus ramah lingkungan.

  • Market online preloved pribadi: Platform jual-beli barang bekas tetap aman karena merupakan transaksi personal, bukan impor massal.

Pecinta thrifting sebenarnya tetap punya ruang berekspresi lewat preloved lokal. Bahkan budaya recycle fashion bisa semakin berkembang kalau diarahkan dengan benar.

Tren fesyen global juga memperlihatkan arah yang sama. Banyak negara mulai mendorong sustainable wardrobe dan slow fashion. Jadi perubahan ini bukan akhir, melainkan transformasi budaya beli.

Bagi para penikmat thrifting, tetap bisa tampil stylish, hemat, dan peduli lingkungan tanpa melanggar aturan. Dan bagi pelaku usaha, ini momentum untuk berinovasi, bukan berhenti.

Mode boleh berubah, gaya akan selalu punya ruang. Yang penting fleksibel, kreatif, dan siap baca arah tren.

Kalau kamu sendiri tim thrift lokal, sustainable fashion, atau masih galau dengan perubahan ini? Bisa jadi, nanti akan muncul tren thrift versi Indonesia yang lebih keren dan legal. Siapa tahu kamu termasuk pionirnya.

DISSINDO
Top Mortar Semen Instan