Pengalaman memasok pupuk organik dari cacing tanah pada petani Talas Jepang yang sudah digeluti sejak tahun 2006, Wiwin mulai tertarik membudidaya Talas Jepang bersama tim usaha agribisnis dengan nama CV Bengkelden Agrobisnis yang berlokasi di Kota Cimahi Jawa Barat.
Kebetulan saat itu Bengkelden baru menjalankan usaha agribisnis ternak cacing tanah merah (Lumbricus rubellus) untuk menyuplai permintaan ekspor ke Malaysia. Semenjak ada tawaran permintaan Talas Satoimo untuk ekspor ke Jepang dari salah satu perusahaan eksportir di Indonesia, akhirnya Wiwin mulai mengembangkan usaha agribisnis budidaya Talas Jepang dari tahun 2008 sampai sekarang. “Bahkan permintaan sekarang 100 ton per minggu, tetapi kami baru bisa memenuhi sekitar 10 ton per bulan,” terang wanita alumnus Universitas Islam Bandung ini. Artinya, Wiwin baru bisa memenuhi sekitar 2,5% permintaan pasar ekspor, sebuah prospek yang sangat menjanjikan.
Wiwin mengeluarkan modal awal hingga Rp 50 juta dari tabungan pribadinya. Modal tersebut digunakan untuk membeli peralatan, lahan dua hektar milik sendiri, biaya operasional dan biaya pembelian bahan baku Talas Satoimo. “Modal lebih banyak digunakan untuk membeli bibit karena bisa mencapai Rp 20-25 juta/hektar,” ungkapnya.
Prospek dan Persaingan. Usaha budidaya Talas Satoimo menurut Wiwin sangat prospektif dan terbuka luas, karena masih sedikitnya pembudidaya Talas Jepang dan besarnya permintaan yang ada sehingga persaingan juga belum ketat. Saat ini Wiwin mempunyai tiga permintaan yang cukup besar dari tiga perusahaan di Jepang, tetapi ia baru menanam pada lahan 7 hektar dan masih kewalahan untuk memenuhi permintaan tersebut. Rencananya ia akan memperbesar lahan sekitar 120 hektar untuk memenuhi permintaan tersebut. “Karena masih jarangnya petani Talas Jepang, sehingga untuk mendapatkan bibit juga menjadi susah, oleh karenanya pembiayaan terbesar adalah pada pembelian bibit,” jelas Wiwin.
Harga Jual. Wiwin menjual Talas Satoimo dalam bentuk umbi harga eceran sekitar Rp 10-15.000/kg. Sedangkan bibit Talas Satoimo dijual sekitar Rp 1.000-1.500/pohon. Ia juga telah mengekspor Talas Satoimo sebanyak 10 ton/bulan. Wiwin mengekspor dalam bentuk frozen yaitu talas beku. Produk tersebut dijual ke perusahaan eksportir agribisnis (PT MSH Agro) di Jakarta dan dikemas dalam kantung plastik polos (ukuran 5 dan 10 kg) kemudian dimasukkan ke kardus dan dimasukkan lagi ke peti kemas.
Dalam setahun Wiwin bisa panen dua kali, biasanya setiap 5-6 bulan sekali. Jika tiap hektar bisa dipanen sekitar 20-40 ton talas/ha, maka dari total 7 hektar lahannya kapasitas panen bisa mencapai sekitar 200 ton. Supaya bisa panen tiap bulan, ia menambah luas lahan yang disewa menjadi 7 hektar dengan masa tanam bergantian. Sehingga rata-rata sekarang ia mampu menjual tiap bulan hingga 10 ton talas/bulan dengan omset Rp 100 juta dan keuntungan sekitar 42%. Dan bibit sebanyak 20 ton per bulan.
Kelebihan Talas Jepang. Talas Satoimo atau bahasa latinnya disebut Colocasia esculenta var Antiquorum. Talas bukanlah nama yang asing buat masyarakat Indonesia, bahkan di beberapa daerah mempunyai jenis talas khusus sesuai nama daerahnya, seperti Talas Bogor dan Talas Padang. Talas Jepang atau Satoimo adalah satu jenis tanaman umbi-umbian serupa dengan talas. Namun Talas Jepang atau Satoimo ini tidak lazim dikonsumsi di negara Indonesia, Tetapi di negeri sakura Jepang, talas ini merupakan salah satu makan pokok mereka selain beras dan kentang. Bahkan konon posisi kentang hampir tergantikan dengan Satoimo sebagai bahan makanan pokok masyarakat Jepang.
Menurut Wiwin, talas ini mempunyai kandungan serat yang tinggi, rendah karbohidrat, tinggi kalori dan mengandung kolagen (protein dengan struktur yang sangat kompleks sehingga mengandung asam amino cukup banyak. Zat ini dapat mencegah serta memperlambat munculnya keriput pada kulit manusia dibandingkan dengan jenis talas lainnya). Talas ini juga menjadi bahan baku makanan yang sehat untuk dikonsumsi baik bagi penderita diabetes maupun bagi orang yang mengalami gangguan pencernaan. Talas Satoimo bisa diolah menjadi aneka produk, seperti mie, roti biskuit, es krim dan lain-lain.
Menurut Wiwin saat ini Talas Satoimo menjadi komoditi agribisnis yang menguntungkan. Selain berpeluang menjadi komoditas ekspor, Satoimo juga bisa menjadi alternatif produk pertanian untuk mengatasi masalah ketahanan pangan nasional. Apalagi, tanaman pangan seperti padi dan jagung cukup sulit bertahan dengan ketidakpastian musim seperti sekarang, yang terimbas dampak pemanasan global. Sementara, Talas Satoimo cenderung lebih tahan terhadap kondisi cuaca yang buruk, bahkan tanaman ini bisa hidup kembali meskipun dengan karakter musim yang berbeda dari sebelumnya.
Pemasaran. Wiwin memaparkan bahwa pemasaran di awal usaha hanya untuk pasar lokal saja, namun sekarang ia bisa mendapat pelanggan dari 3 perusahaan eksportir asal Jepang. Sayang Wiwin keberatan menyebutkan nama perusahaannya. Sehingga ia fokus dan hanya memenuhi permintaan tersebut dengan menanam Talas Jepang secara teratur dan terjadwal agar permintaan dapat terpenuhi.
Minimum order yang diterapkan sebanyak 100 kg baik untuk umbi talas maupun bibit. Sistem pembayaran cash, dengan ongkos kirim ditanggung pembeli. Diakui Wiwin, ia tak segan memberikan diskon khusus bagi para pembeli sekitar 5-10%.
Dari penjualan ekspor talas frozen (beku) ke Jepang nilainya bisa mencapai ratusan juta. Tak heran jika omset yang diraup cukup besar baik dari umbi dan bibit Talas Jepang sekitar Rp 120 juta dengan keuntungan untuk CV Bengkelden sekitar 40 % atau sekitar Rp 48 juta/bulan. Wiwin berharap kegiatan budidaya tanaman talas Satoimo ini dapat dimasukkan ke dalam program Nasional oleh Pemerintah agar di seluruh wilayah tanah air ini dapat membudidayakannya. “Dengan begitu kita akan memiliki satu komoditi lagi yang penting dan punya nilai kandungan protein serta gizi yang tinggi. Ini dapat dijadikan pula sebagai komoditi ketahanan pangan untuk masa depan bangsa,” terang Wiwin.
Tak hanya itu ia juga berharap dapat memenuhi permintaan ekspor ke Jepang sebagaimana dulu mereka berhasil mengekspor cacing ke Malaysia. Dan bila ekspor Talas Satoimo bisa berhasil memenuhi permintaan buyer pastinya akan menjadi satu lahan komoditi ekspor non migas lain dari Indonesia ke Jepang. Harapan ini akan bisa tercapai jika mendapat dukungan dari berbagai pihak, yaitu petani, investor dan pemerintah setempat sebagai penasihat dan pendamping.
Kendala dan Resiko. Kendala usaha ini lebih banyak tergantung kondisi iklim. Apabila musim kemarau lahan menjadi kering sehingga acapkali tanaman talas gagal panen atau panen dengan umbi yang kecil-kecil. Menurut Wiwin, apabila hendak menyewa lahan untuk bercocok tanam Talas Satoimo, harus mengetahui benar kondisi air pada lahan tersebut di musim kemarau. Prinsipnya tanaman ini memerlukan air yang stabil untuk memperoleh kelembapan 60 % di musim kemarau.
Risiko berupa hama penyakit yang menyerang Satoimo masih relatif mudah dihindari. “Sementara ini penyakit talas belum begitu mengkhawatirkan, hanya di saat musim hujan saja yang perlu diatur jarak tanamnya jangan sampai terlalu rapat. Saluran pembuangan air juga jangan sampai tergenang. Penyakit yang muncul seperti Jamur Xantomonas yang sering membuat daun serta batang menjadi busuk,” imbuh Wiwin. Pencegahan penyakit tersebut dilakukan dengan menyemprotkan fungisida atau bakterisida alami setiap 10 hari sekali sejak tanam.