Seorang ilmuwan yang juga berkecimpung dalam dunia entrepreneurship saya melihat ada beberapa kesamaan signifikan di antara keduanya. Dengan perjalanan pendidikan yang panjang sebenarnya seorang ilmuwan memiliki lebih banyak kelengkapan untuk menjadi seorang entrepreneur yang berhasil ketimbang orang biasa.
Dalam buku ‘Entrepreneurship Ciputra Way’, entrepreneurship didefinisikan sebagai sebuah keterampilan untuk mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas melalui tiga hal penciptaan peluang, inovasi dan pengambilan risiko yang terukur. Pengertian ini menekankan daya ubah yang kreatif dan dramatis yang dilakukan oleh seorang entrepreneur. Secara prinsip daya ubah ini menciptakan nilai baru yang ekstrem (kotoran dan rongsokan menjadi emas) dan secara alami akhirnya disukai oleh banyak orang.
Sehingga dalam hal ini kita bisa mendapat pengertian bahwa keterampilan ini tidak melulu dimiliki para pebisnis. Dalam kenyataannya Peter Drucker mengatakan bahwa tidak semua pemilik usaha adalah seorang entrepreneur. Daya ubah di atas bisa dimiliki semua orang termasuk seorang ilmuwan.
Kesamaan pertama adalah kebiasaan mencipta. Hal yang sangat terlihat mencolok dari kebiasaan seorang entrepreneur adalah menciptakan gagasan baru untuk menciptakan peluang usaha di depannya. Di sisi keilmuan, seorang ilmuwan sangat terbiasa dengan menciptakan solusi bagi setiap permasalahan yang di depannya baik masalah-masalah interpretasi fenomena alam semesta maupun fenomena sosial yang melibatkan masyarakat.
Kesamaan kedua adalah baik entrepreneur maupun ilmuwan memiliki kebiasaan memecahkan masalah. Bahkan keduanya cenderung menganggap ini sebagai sebuah perjalanan petualangan entrepreneurship maupun keilmuan. Semakin sulit masalah yang dihadapi bukannya membuat mereka mundur, namun sebaliknya semakin tertantang untuk menyelesaikannya.
Bagi ilmuwan pemecahan masalah yang dialami oleh orang banyak memberikan penghargaan keilmuan. Namun bagi seorang entrepreneur bukan saja kepuasan dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan yang mereka dapatkan namun secara alami ketika solusinya diterima masyarakat, melalui proses komersialisasi yang positif seorang entrepreneur mendapatkan penghargaan keuangan.
Dalam hal kreativitas, entrepreneur dan ilmuwan memiliki tingkat kreativitas yang tinggi. Menurut Dr. Paul Torrance, bapak kreativitas dunia, kreativitas ditentukan oleh empat hal, yakni kelancaran menghasilkan gagasan, keluwesan seseorang di luar bidangnya, kemampuan menghasilkan gagasan yang unik dan asli dan, yang terakhir, kemampuan menjabarkan gagasannya ke jenjang yang lebih detil.
Dari gagasan-gagasan yang dihasilkan terlihat jelas bahwa entrepreneur dan ilmuwan memiliki kreativitas yang tinggi bahkan keduanya cenderung untuk memiliki kebiasaan “melanggar” status quo di bidang masing-masing. Ini tidak bisa dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kebiasaan lepas dari kerutinan.
Kesamaan berikutnya adalah daya tahan atau endurance. Dalam mencapai solusi yang diharapkan dan memberi dampak yang besar seringkali memerlukan waktu yang lama. Demikian pula waktu yang dibutuhkan dari sebuah ide usaha sampai terwujudnya usaha yang berkelanjutan memerlukan waktu yang tidak sebentar pula. Sehingga untuk tiba di ujung perjalanan sebagai juara, entrepreneur dan ilmuwan perlu daya tahan atau endurance. Dan mereka yang berhasil adalah mereka yang bisa mengalahkan waktu dan keluar sebagai pemenang.
Dari kesamaan-kesamaan di atas seharusnya banyak ilmuwan menjadi entrepreneur? Thomas Alfa Edison adalah sebuah contoh legendaris bagaimana seorang ilmuwan juga sekaligus seorang entrepreneur yang sukses. Perusahaan yang dimulainya, General Electric, menjadi perusahaan terbesar di dunia. Dr. Bun di Indonesia dengan Kalbe Farma merupakan contoh konkret bagi kita sekalian.
Namun demikian ada dua tantangan klasik yang dihadapi para ilmuwan Indonesia untuk menjadi entrepreneur. Pertama adalah mindset. Bagi entrepreneur pola pikir yang dominan adalah pola pikir pemburu peluang. Peluang bagi entrepreneur berasal dari begitu banyak masalah yang ada dan bagaimana mereka menemukan solusi yang kemudian bisa ditawarkan kepada masyarakat pemilik masalah.
Dari sisi ini sebenarnya ilmuwan sangat berperan untuk menemukan solusinya asalkan penelitian yang mereka lakukan berhubungan dengan penyediaan solusi tersebut yang bisa digunakan masyarakat. Kebanyakan ilmuwan Indonesia seperti tidak mau lepas dari idealism keilmuannya sehingga jarang yang mau memikirkan solusi masyarakat yang berakibat komersialisasi.
Kedua adalah masalah prestis. Banyak ilmuwan yang seperti turun derajat ketika harus meninggalkan penelitiannya di bidang “frontier” untuk memikirkan proses inovasi yang melibatkan kreativitas yang diterima oleh pasar. Amerika dan Eropa mengalami kemajuan ilmu dan teknologi juga penerapan di masyarakat karena penelitian frontier bersanding dengan inovasi dan komersialisasinya. Contoh konkret adalah penelitian dalam bidang fisika, pemercepat partikel CERN menghasilkan system internet yang saat ini bahkan seluruh perusahaan dunia tidak bisa hidup tanpanya.
Jika memang ini yang terjadi maka sudah seharusnya terjadi kolaborasi untuk mewujudkan enterprise-enterprise baru yang didorong oleh dua fungsi entrepreneurship, yakni inovasi dan marketing. Ilmuwan bisa menggunakan seluruh keahliannya untuk berinovasi sementara itu para entrepreneur bisa melakukan proses pemasaran inovasi yang sudah ditelurkan.
Oleh : Agung Bayu Waluyo, PhD
Program Director
Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC)