Ribuan pengemudi ojek online (ojol) yang tergabung dalam Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) berencana menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran pada Senin (17/2/2025). Aksi ini dilatarbelakangi desakan agar pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap hak-hak pekerja transportasi berbasis aplikasi, termasuk Tunjangan Hari Raya (THR).
Ketua SPAI, Lily Pujiati, mengonfirmasi bahwa aksi tersebut dijadwalkan dimulai pukul 10.00 WIB di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) di Jakarta. Diperkirakan sekitar 500 hingga 1.000 pengemudi ojol akan turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka.
“Kami akan berkumpul sejak pukul 10 pagi hingga selesai. Para pengemudi ojol dari berbagai daerah turut berpartisipasi dalam aksi ini,” ungkap Lily saat dihubungi, Minggu (16/2/2025).
Imbauan Off Bid Nasional untuk Ojol
Sebagai bagian dari aksi tersebut, Lily mengimbau seluruh pengemudi ojol untuk melakukan aksi “off bid” atau berhenti menerima order selama aksi berlangsung. Ajakan ini tidak hanya berlaku di Jakarta, melainkan juga di berbagai daerah lain seperti Sukabumi, Dumai, Pontianak, dan Pangkal Pinang.
“Kami sudah menginstruksikan rekan-rekan untuk off bid pada 17 Februari. Ini aksi serentak sebagai bentuk solidaritas,” jelasnya.
Aksi ini dipicu oleh ketidakpuasan pengemudi terhadap sistem kemitraan yang dinilai merugikan mereka. Lily menyoroti fleksibilitas kemitraan yang dijadikan dalih oleh perusahaan platform untuk menghindari kewajiban memberikan hak-hak pekerja, seperti THR, upah layak, dan jaminan kesejahteraan.
“Platform digital meraup keuntungan besar, sementara pengemudi hanya mendapat upah minim dan dibebani jam kerja yang melebihi batas wajar. Mereka tidak mendapatkan hak-hak normatif seperti upah lembur, cuti haid, cuti melahirkan, dan batas waktu kerja yang manusiawi,” papar Lily.
Lily menegaskan, pemerintah harus hadir untuk mengatasi ketidakadilan ini. Ia meminta Kemenaker segera merumuskan kebijakan yang melindungi hak-hak pengemudi ojol, taksol, dan kurir sebagai pekerja sektor informal yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian.
“Kebijakan yang berpihak pada pengemudi sangat penting. Negara tidak boleh membiarkan perusahaan platform terus memperkaya diri dengan mengorbankan kesejahteraan pengemudi,” ujarnya.
Eksploitasi Jam Kerja bagi Ojol
Lebih jauh, Lily mengungkapkan bahwa praktik algoritma yang digunakan perusahaan platform kerap memaksa pengemudi untuk bekerja jauh melebihi jam kerja normal. Banyak pengemudi terpaksa bekerja hingga 17 jam sehari demi mendapatkan penghasilan yang mencukupi.
“Karena pendapatan per order tidak menentu dan terus ditekan, pengemudi dipaksa bekerja lebih lama. Hal ini tidak sehat, baik untuk fisik maupun mental mereka,” tegasnya.
Selain itu, Lily juga menyoroti persaingan tidak sehat di antara perusahaan platform. Masing-masing berlomba menawarkan tarif murah untuk menarik pelanggan, namun dampaknya justru merugikan pengemudi. Pendapatan yang semakin kecil membuat kesejahteraan pengemudi terpuruk.
“Insentif yang diberikan perusahaan hanya ilusi. Itu justru mendorong pengemudi bekerja tanpa henti, karena jika berhenti, penghasilan mereka makin turun. Ini eksploitasi yang harus dihentikan,” pungkasnya.
Melalui aksi ini, para pengemudi berharap suara mereka didengar oleh pemerintah dan perusahaan platform. Keseimbangan antara keuntungan perusahaan dan kesejahteraan pekerja menjadi tujuan utama yang mereka perjuangkan.