Pada Juli 2024, inflasi tercatat sebesar 2,13% (yoy), menunjukkan kestabilan yang rendah. Hasil ini merupakan buah dari kerjasama Pemerintah dengan berbagai pihak dalam mengendalikan inflasi dan harga pangan.
Inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price) juga mengalami penurunan, sebesar 1,47% (yoy). Penurunan ini terutama disebabkan oleh berakhirnya masa liburan sekolah yang mempengaruhi sektor transportasi. Sementara itu, inflasi inti tetap stabil di angka 1,95% (yoy), didorong oleh kelompok pendidikan, perawatan pribadi, dan perumahan.
Harga beberapa komoditas hortikultura seperti bawang merah, cabai merah, dan tomat turun berkat pasokan yang melimpah selama musim panen. Musim kemarau juga berkontribusi pada peningkatan produksi ikan, yang pada akhirnya menurunkan harga. Ini menyebabkan inflasi pangan turun menjadi 3,63% (yoy), dari sebelumnya 5,96% (yoy) pada Juni 2024.
Harga Pangan Stabil Dukung Pencapaian Target Inflasi
“Stabilnya harga pangan ini sangat mendukung pencapaian target inflasi. Dari sisi konsumsi, ini juga memperkuat daya beli masyarakat. Namun, pemerintah tetap waspada terhadap risiko musim kemarau yang dapat mempengaruhi produksi beras dan produk hortikultura. Koordinasi antara Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) akan terus dilakukan untuk mengantisipasi potensi dampak gangguan cuaca. Selain itu, risiko inflasi impor juga terus dimonitor seiring dengan dinamika harga komoditas global,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu di Jakarta, Jumat (2/8/2024).
Pada kesempatan yang sama, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Juli 2024 tercatat di level 49,3. Komponen tingkat output dan permintaan baru dalam PMI mengalami moderasi, terutama akibat gejolak geopolitik global. Meski begitu, komponen Indeks Kepercayaan Bisnis terhadap prospek produksi ke depan berada di level tertinggi sejak Februari 2024. Produsen optimis bahwa volume penjualan akan meningkat dan kondisi pasar akan kembali menguat di tahun depan, sejalan dengan proyeksi IMF yang memprediksi pertumbuhan ekonomi 2025 akan naik ke 3,3% (2024: 3,2%).
Momentum Bagi Industri di Tengah Gejolak Global
Meskipun gejolak geopolitik global berdampak negatif pada rantai pasok global, situasi saat ini memberikan momentum bagi industri untuk memperkuat daya saing dan berinovasi dalam perdagangan global. Selain itu, tren penurunan inflasi harga input diharapkan dapat mendukung kinerja ke depan. Selaras dengan momentum ini, kebijakan Pemerintah terus dioptimalkan sehingga sektor manufaktur diharapkan dapat membantu penyerapan tenaga kerja di tengah stagnasi global.
“Pemerintah tetap optimis terhadap kinerja sektor manufaktur. Pada triwulan II lalu, penanaman modal pada industri logam dasar tumbuh dua digit, sejalan dengan semangat transformasi industri. Namun, kita juga akan terus memantau beberapa subsektor yang menghadapi tantangan berat di tengah situasi global saat ini. Pemerintah terus berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk langkah-langkah mitigasi,” ujar Febrio.
Di tengah moderasi level PMI Indonesia, beberapa negara mitra dagang utama seperti Tiongkok (49,8), Amerika Serikat (49,5), dan Jepang (49,1) juga mengalami tantangan serupa. Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Australia juga menunjukkan tren perlambatan aktivitas sektor manufaktur, dengan PMI masing-masing berada di level 49,7 dan 47,5.