Sejumlah raksasa real estate di China telah mengalami krisis sejak tahun 2021, bahkan ada yang menghadapi kebangkrutan. Dari Evergrande hingga Country Garden, tren bisnis properti melemah secara signifikan. Sektor properti telah menjadi salah satu pendorong utama ekonomi China sejak awal 2000-an. Sekitar seperempat ekonomi China bergantung pada sektor properti dan industri terkaitnya.
Selain itu, sektor ini memberikan pekerjaan kepada jutaan orang dan menjadi pilihan investasi populer bagi warga China. Kenaikan harga properti terus terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk di perkotaan.
Namun, kekhawatiran atas kemungkinan meledaknya gelembung properti telah muncul, dan ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya.
Pembatasan Utang Perusahaan Properti
Pemerintah China telah mengizinkan perusahaan properti untuk berutang dalam skala besar selama beberapa dekade untuk mendukung proyek mereka. Namun, pada Agustus 2020, Beijing mengambil tindakan drastis dengan menghentikan aliran dana murah ke perusahaan real estat. Kebijakan ini dikenal dengan istilah ‘tiga garis merah’:
- Utang tidak boleh melebihi 70 persen dari aset (tidak termasuk uang muka dari proyek berdasarkan kontrak).
- Utang bersih tidak boleh lebih besar dari 100 persen ekuitas.
- Cadangan uang minimal harus 100 persen dari utang jangka pendek.
Akumulasi Utang Perusahaan Properti
Pembatasan utang oleh pemerintah telah membuat perusahaan properti China menghadapi kesulitan. Kas perusahaan menjadi terbatas, menyebabkan beberapa raksasa properti gagal membayar tagihan dan utang mereka.
Menurut laporan Standard & Poor’s, lebih dari 50 pengembang properti Tiongkok gagal membayar utang dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2021, Evergrande hampir gagal membayar utang sebesar US$300 miliar. Perusahaan ini akhirnya mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 15 di AS.
Perusahaan lain seperti Modern Land, Fantasia Holding, Shimao Group, dan Country Garden juga mengalami kondisi serupa.
Keterbatasan kas perusahaan juga telah memperlambat penyelesaian sejumlah proyek apartemen, yang berdampak pada konsumen properti yang harus menunggu. Beberapa konsumen bahkan melakukan protes karena penyelesaian proyek yang terlambat.
Penurunan Permintaan Properti Pasca-Pandemi
Sektor properti juga menghadapi kesulitan dalam pulih dari dampak pandemi COVID-19. Pembelian rumah mengalami penurunan signifikan, karena warga menjadi lebih berhati-hati dalam berinvestasi di properti.
Penjualan rumah baru oleh 100 pengembang China pada bulan Juli mengalami penurunan sebesar 33 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Harga rumah pun cenderung turun, seiring dengan meningkatnya tingkat pengangguran.
Namun, perlu dicatat bahwa beberapa kota di China masih mengalami lonjakan harga rumah yang tinggi, yang menjadi perhatian pemerintah. Koran China, Economic Daily, bahkan meminta pemerintah untuk kembali menegakkan prinsip bahwa “rumah adalah untuk ditempati, bukan untuk spekulasi (investasi).”
Dalam upaya untuk mengatasi krisis properti, pemerintah China telah meluncurkan berbagai langkah. Ini termasuk dukungan kredit kepada pengembang perumahan yang berisiko tinggi dalam hal utang, bantuan keuangan untuk menyelesaikan proyek dan menyerahkan unit kepada pemilik rumah, serta bantuan penangguhan pembayaran pinjaman bagi pembeli rumah.
Pada bulan Juli, Bank Sentral China (PBoC) juga memberikan pengembang waktu tambahan selama 12 bulan untuk melunasi pinjaman yang jatuh tempo.
Krisis properti China menjadi perhatian besar dan akan berdampak pada ekonomi dan sosial. Pemerintah terus berupaya untuk menjaga stabilitas sektor properti sambil menghadapi tantangan yang ada.
Dengan begitu, upaya pembatasan utang, penurunan permintaan properti pasca-pandemi, dan tindakan pemerintah adalah beberapa faktor utama yang menjadi penyebab krisis properti yang sedang berlangsung di China.