Salah satu cara seorang developer properti menerapkan pricing strategy dalam menjual produknya adalah dengan cara menetapkan uang muka sekecil mungkin.
Bahkan bisa dengan hanya sekedar uang booking fee saja yang besarnya tidak seberapa. Sehingga uang muka dianggap 0 rupiah.
Hal ini untuk mengakomodir konsumen yang kesulitan menyediakan uang muka yang besar tetapi sanggup untuk mencicil.
Satu lagi penyebabnya adalah kondisi perekenomian makro negara kita yang masih belum bagus, maka berimbas kepada kemampuan masyarakat menyediakan uang tunai untuk membeli rumah.
Kok bisa dengan uang booking fee saja sudah bisa membeli rumah? Developer rugi dong.
Ngga juga karena harga yang ditetapkan sudah diperhitungkan dengan matang. Ngga mungkin developer menjual rugi produknya. Betul?
Bagaimana strateginya?
Langkah pertama yang harus dilakukan developer adalah dengan menetapkan target pemasukan. Hal ini penting karena dengan adanya target pemasukan maka seorang developer akan fleksibel dalam menentukan harga jual produknya.
Sebagai contoh kita menetapkan harga untuk produk kita adalah 500 juta. Mari kita anggap bahwa nilai appraisal produk berdasarkan lokasi dan spek bangunan adalah 500 juta juga.
Dari angka di atas dapat kita hitung pemasukan yang diterima oleh developer jika konsumen tidak kita mintakan uang muka (down payment, DP) yang besar. Atau kita anggap DP-nya 0 rupiah. Hanya sekedar uang booking fee saja 5 juta.
Artinya dari konsumen kita tidak mendapatkan pemasukan, 5 juta itu anggaplah untuk para tenaga marketing sebagai closing fee dan biaya administrasi marketing.
Boleh-boleh saja karena seorang developer itu bebas menetapkan skema pemasaran dan harga produknya. Sultan mah bebas
Begini cara menghitungnya:
- Harga jual, 500 juta. Harga ini bisa berubah, tetapi harus ditetapkan hati-hati karena perhitungan pajak-pajak mengikuti harga jual ini.
- Plafond KPR, 500 juta.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN), 10% x 500 juta = 50 juta.
- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), (500 juta – 60 juta) x 5% = 22 juta
- Biaya proses KPR dan notaris, 5% x 500 juta = 25 juta. Biaya ini sudah termasuk biaya notaris, APHT, appraisal, administrasi, provisi, biaya proses, angsuran pertama, premi asuransi kebakaran, premi asuransi jiwa.
- Marketing fee, 3% x 500 juta = 15 juta. Biaya marketing fee ngga harus 3%, mungkin 2,5% bisa juga 5%. Bebas saja.
- Pajak Penghasilan final, 2,5% x 500 juta = 12,5 juta.
- Pemasukan ke developer tersisa 375.500.000.
Jadi dari harga jual 500 juta yang ditetapkan itu seorang developer hanya mendapatkan pemasukan sebesar 375.000.000 saja. Nah, nilai ini musti diperhitungkan betul-betul apakah dengan pemasukan segini proyek masih layak untuk dikerjakan?
Kunci jawaban layak atau tidaknya adalah kemampuan dalam membuat studi kelayakan terhadap proyek tersebut. Karena dalam sebuah studi kelayakan tentu sudah diperhitungkan semua faktor-faktor yang mempengaruhi proyek termasuk biaya-biaya dan laba.
Setelah melihat analisa ini dirimu tidak usah lagi heran kalau ada developer yang menjual produknya hanya dengan membayar booking fee 5 juta saja maka konsumen sudah bisa akad dan bebas biaya-biaya semua.
Artinya biaya PPN, BPHTB, biaya notaris dan proses yang menjadi kewajiban pembeli ditanggung semua oleh developer. Tapi sebenarnya bukan developer yang membayar, uangnya dari akad KPR yang nanti dicicil oleh konsumen… hehehe