Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa langkah pemerintah dalam reformasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) merupakan bagian dari strategi jangka panjang dan bukan keputusan reaktif atas tekanan pihak manapun.
Agus menilai, reformasi tersebut telah dirancang jauh sebelum munculnya dinamika terkini. “Reformasi TKDN ini sudah mulai digodok sejak Februari 2025. Jadi, bukan karena tren sesaat atau tekanan eksternal,” ujarnya dalam pernyataan resmi yang dirilis di Jakarta, Sabtu (10/5).
Mendorong Industri Dalam Negeri Lebih Kompetitif
Menurut Menperin, reformasi TKDN menjadi bagian dari langkah konkret pemerintah untuk memperkuat sektor industri nasional melalui optimalisasi penggunaan produk dalam negeri. Kebijakan ini juga senada dengan instruksi Presiden dalam memperdalam struktur industri serta mendorong peningkatan daya saing nasional.
“Kami telah mengevaluasi pelaksanaan TKDN selama ini. Reformasi ini dibuat agar lebih responsif terhadap kondisi industri, lebih transparan, serta mampu memberikan dampak maksimal bagi pelaku usaha dalam negeri,” jelasnya.
Dalam proses reformasi ini, Agus memastikan keterlibatan para pemangku kepentingan agar kebijakan yang dihasilkan dapat diimplementasikan secara efektif dan tepat sasaran.
Perpres Baru Jadi Dasar Hukum Penguatan TKDN
Sebagai dasar hukum, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Peraturan ini memperkuat kerangka pelaksanaan TKDN, termasuk penyempurnaan sistem verifikasi, pemberian insentif kepada industri, serta peningkatan pengawasan agar penggunaan produk lokal semakin optimal.
Kementerian Perindustrian berharap, lewat kebijakan ini, Indonesia dapat mempercepat kemandirian industri serta memperkuat rantai pasok manufaktur nasional.
Penerbitan Perpres 46/2025 juga mendapat sambutan positif dari pelaku industri, khususnya karena adanya tambahan empat sub ayat dalam Pasal 66 yang mengatur skema prioritas belanja pemerintah dan BUMN/BUMD terhadap produk ber-TKDN dan Produk Dalam Negeri (PDN).
Adapun urutan prioritas yang ditetapkan dalam pasal tersebut mencakup:
-
Jika terdapat produk dengan akumulasi skor TKDN dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) melebihi 40 persen, maka hanya produk dengan TKDN di atas 25 persen yang dapat dibeli pemerintah.
-
Bila tidak ada produk dengan total skor TKDN dan BMP di atas 40 persen, namun ada yang memiliki TKDN lebih dari 25 persen, maka produk tersebut dapat dibeli.
-
Jika tidak tersedia produk dengan TKDN di atas 25 persen, pemerintah diperbolehkan membeli produk dengan nilai TKDN lebih rendah.
-
Apabila seluruh produk yang ada tidak memiliki sertifikasi TKDN, maka pembelian dapat diarahkan pada produk yang terdaftar sebagai PDN dalam Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas).
Dengan skema baru ini, produk impor tidak bisa dibeli oleh pemerintah jika keempat tingkatan prioritas di atas masih tersedia. “Regulasi ini menyempurnakan aturan sebelumnya dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Fokus kita adalah mengedepankan produk dalam negeri,” tegas Agus.