Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang meneliti dugaan praktik kartel yang dilakukan pinjaman online (pinjol) atau yang dikenal dengan fintech peer to peer lending.
Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih mengatakan dugaan praktik kartel itu terkait pemberlakuan bunga pinjaman yang tinggi oleh beberapa perusahaan pinjaman online melalui asosiasi. Praktik tersebut bisa melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Kami mengumpamakan ada beberapa fintech bunganya mencapai 0,8 persen per harinya. Dalam satu bulan, berarti debitur mencapai 24 persen bunganya. Padahal, bunga bank saja tidak setinggi itu,” jelasnya di acara jumpa pers di Tamani Cafe, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.
Ia mengatakan bahwa asosiasi yang menaungi penyedia jasa pinjaman online itu diperbolehkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk membentuk aturan sendiri alias self-regulated. Namun aturan yang dibentuk tidak boleh menyentuh wilayah penetapan harga. KPPU akan memanggil asosiasi terkait untuk mengusut tuntas hal ini. Selain itu KPPU juga akan bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).
Menurutnya setiap industri termasuk digital ekonomi seharusnya ada kegiatan bisnis yang efisien, salah satunya biaya di masyarakat lebih murah. Kalau bunganya lebih tinggi patut dipertanyakan untuk sebuah model bisnis digital ekonomi. Terkait dengan hal itu kini KPPU tengah melakukan penelitian lebih mendalam atas dugaan pelanggaran penetapan harga pada pinjaman online.
“Saat ini digital ekonomi begitu mewabah, karena salah satunya dari sisi harga bahkan sampai ada dugaan predatory pricing atau jual rugi. Kalau faktanya bunganya lebih tinggi dibandingkan konvensional itu merupakan suatu indikasi,” jelasnya.
Selain dugaan praktik kartel pinjaman online, KPPU juga tengah meneliti dugaan praktik monopoli tidak sehat dari pembayaran digital OVO yang diterapkan di area parkir pusat perbelanjaan milik Lippo Group dan rumah sakit Siloam.
Guntur mengatakan selama penelitian ada beberapa indikasi penting seperti hilangnya pembayaran tunai dan Flazz BCA yang semula ada pada tahun 2015 di area parkir pusat perbelanjaan milik Lippo Group. Sebelum ada OVO, parkir di Lippo Mall menggunakan dua alternatif pembayaran, yaitu uang tunai dan kartu Flazz dari bank BCA.
Kasus ini menjadi prioritas KPPU, di samping dugaan praktik usaha tak sehat dari pinjaman online. Kasus ini statusnya adalah perkara inisiatif, bukan laporan dari publik karena KPPU memperhatikan keresahan publik atau konsumen. Saat ini KPPU masih melakukan penelitian dan masih melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak terkait.
“Prosesnya tergantung kompleksitasnya dan kerjasama antar pihak. KPPU masih membuka ruang, setelah penelitian akan masuk ke pemberkasan dan penyelidikan. Saat ini masih tahap penelitian dan belum disimpulkan,” ungkapnya.
Antitrust Investigator KPPU, Devi Matondang, menambahkan di antara beberapa pihak dipanggil, di antaranya adalah Skyparking. Perusahaan ini merupakan pengelola parkir di gedung Lippo. Kemudian dari kompetitornya Securepark, dan juga dari Lippo Mall.