Cerita pengusaha kecil dan menengah kekurangan modal usaha sepertinya sudah sering terdengar. Urusan seperti itu sudah menjadi persoalan klasik yang melekat pada diri para wirausahawan kecil. Jalan untuk memperbesar skala usaha dengan cara mengucurkan modal tambahan pun menjadi seolah-olah tertutup karena lembaga pembiayaan seperti bank biasanya mengajukan syarat agunan/jaminan jika ingin mendapat kredit. Sedangkan usaha kecil biasanya memang tidak memiliki agunan yang dapat dijaminkan kepada bank agar memperoleh kredit. Persoalan seperti ini seolah sudah seperti lingkaran setan bagi usahawan kecil dan menengah.
Jika memang bank sulit ditembus untuk mendapat kredit tidak ada salahnya bila melirik Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) sebagai sumber pembiayaan. Seperti lembaga keuangan lainnya, BPRS pun patuh punya aturan main. Meski demikian, menurut Direktur Operasional BPRS Cempaka Desmanizar Yusrah, BPRS tetap memiliki keunggulan dibandingkan dengan bank konvensional. Setidaknya dari mata rantai birokrasi dalam penentuan pemberian kredit.
“Untuk menetapkan kebijakan kredit kepada kalangan usaha kecil dan menengah hanya sampai dua level keputusan,” kata Desmanizar Yusrah atau yang akrab disapa Desi ini.
Penetapan kredit kepada debitor di BPRS cukup dari marketing ke jenjang setingkat di atasnya yaitu Komite Pembiayaan. Pada level komite tersebut, kredit sudah bisa diberikan kepada debitor. Sedangkan di bank konvensional pemberian kredit di kantor cabang bisa diberikan sepanjang tidak melewati jumlah yang ditetapkan. Kalau jumlah kreditnya lebih besar harus mendapat persetujuan atasan kepala cabang. Bila lebih besar lagi harus mendapat persetujuan kantor pusat.
Mengenai prosedur pengajuan kredit, menurut Desi secara umum sangat mudah. Hanya saja ia mengingatkan usaha yang dapat dibiayai memang layak untuk diberi tambahan modal.
Menurut Desi kendala permodalan usaha kecil dan menengah selama ini adalah modalnya sering terpakai. Artinya antara keuangan usaha dan uang untuk keperluan sehari-hari tidak dipisahkan. Kejadian seperti ini sering melanda para pelaku usaha kecil dan menengah. Oleh karena itu, bagi pengusaha kecil harus belajar untuk memisahkan keuangan pribadi dan usaha.
Menurut Desi, selama ini tak sedikit pelaku usaha kecil dan menengah yang malas berhubungan dengan bankt. Alasannya karena urusan dengan bank rumit dan berbelit-belit serta repot. Padahal, kata Desi, berurusan dengan BPRS tidak seperti yang digambarkan banyak orang.
Kalau memang serius ingin mendapatkan kucuran pembiayaan dari BPRS, maka yang harus dilakukan adalah menyiapkan dokumen yang diperlukan. Dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mengajukan kredit ke BPRS antara lain, surat izin usaha, jika usahanya berada di lokasi yang tidak tetap. Namun bila usaha tersebut berupa toko atau warung, surat izin tidak perlu tetapi hanya sebatas surat keterangan. Berbeda bila usaha tersebut sudah memiliki badan usaha seperti CV. Pemilik CV menyertakan dokumen terkait CV miliknya tersebut.
Jika yang mengajukan kredit adalah pribadi perlu menyertakan dokumen berupa fotocopy KTP, Kartu Keluarga termasuk Surat Nikah. Dokumen yang terkait legalitas usaha milik perorangan tersebut juga harus disertakan seperti SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan). Kalau sebagai pedagang di sebuah pasar, maka harus menyertakan pula Surat Izin Penggunaan Kios. Kata Desi, bila lokasi kios ada di rumah tidak perlu dokumen semacam itu.
Terakhir adalah fotocopy dokumen benda yang menjadi jaminan berupa aset seperti tanah atau kendaraan. Kalau yang menjadi agunan adalah tanah maka fotocopy akta jual beli yang disertakan. Bila kendaraan, berupa fotocopy BPKB.
Lebih lanjut Desi mengatakan, tidak semua pengajuan kredit harus disertai agunan. Pinjaman maksimal Rp 2 juta tidak perlu menyertakan jaminan. Menurutnya BPRS Cempaka sudah banyak memberikan kredit maksimal Rp 2 juta tersebut. “Tapi prioritas untuk orang-orang yang tinggalnya berdekatan dengan kantor BPRS Cempaka,” jelasnya.
Bagaimanapun menurut Desi, pihaknya harus meminta jaminan dari pihak yang ingin mendapatkan kredit lebih besar dari Rp 3 juta. Sebab uang untuk memberikan kredit berasal dari nasabah yang menyimpan uangnya di BPRS Cempaka. “Kalau kredit tersebut macet nanti dinilai tidak amanah,” katanya. Jaminan tersebut jumlahnya setara dengan kredit yang didapat.
Selain kredit maksimal Rp 2 juta, ada pula kredit tanpa agunan yaitu bila kredit tersebut diajukan secara kolektif. Misalnya beberapa orang guru di sebuah sekolah berkelompok lalu mengajukan kredit kepada BPRS. Namun jumlah maksimal kredit yang didapat hanya Rp 10 juta.
Jaminan bisa berupa ijazah, bukan berupa aset. Usaha yang sudah berjalan setahun sudah dapat mendapatkan fasilitas kredit tetapi tidak bisa menjadi agunan kredit. Pasalnya meskipun usaha tersebut kelihatan sehat tetap penuh ketidakpastian dan oleh karena itu tidak dapat menjadi agunan kredit.
Segala jenis usaha, tambah Desi, bisa mendapatkan fasilitas kredit dari BPRS sepanjang usaha tersebut legal dan tidak melanggar hukum. Jumlah kredit yang didapat bisa sampai dengan Rp 200 juta dengan jangka pengembalian kredit 1 tahun dan maksimal 3 tahun.
Jenis-jenis pembiayaan yang bisa diperoleh dari BPRS secara umum adalah skema Murabahah atau yang disebut akad jual beli antara nasabah dengan BPRS. Skema pembiayaan seperti ini yang paling banyak diajukan oleh nasabah. Berikutnya adalah skema Izarah atau akad perjanjian sewa menyewa.
Dan terakhir adalah skema Musyarakah atau kongsi antara BPRS dengan pelaku usaha. Karena BPRS tidak mengenal bunga kredit, maka yang terjadi adalah akad (kesepakatan) antara BPRS dan nasabah tentang nisbah bagi hasil. Persentase besaran nisbah tergantung kesepakatan akad. ersentase besaran nisbah tergantung kesepakatan akad.