Meski begitu seringnya pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara () sejak pertengahan 2018 hingga 2019, Kementrian Keuangan menjamin tidak menimbulkan pengetatan likuiditas bagi industri keuangan.
Pada Januari 2019, Kemenkeu menerbitkan Sukuk Tabungan dengan serapan dana Rp4 triliun. lalu, Februari 2019, Sukuk Ritel telah menyerap Rp15 triliun. Nilai ini jauh dari SBN ritel yang jatuh tempo pada Maret 2019 itu senlai Rp31,5 triliun. Dengan demikian, dana dari SBN ritel kembali ke nasabah dan berpotensi kembali ke pasar keuangan.
“Jadi kalau dihitung net, sebenarnya (dana yang masuk ke SBN) negatif,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman.
Menurutnya surat utang yang diterbitkan pemerintah memiliki denominasi valas, tidak hanya rupiah. “Jadi kalau ada obligasi valas seharusnya itu tidak mengganggu,” katanya
Pada 2019, pemerintah masih mempertahankan pendanaan “front-loading” atau penerbitan instrumen utang awal tahun sebagai mengantisipasi tekanan dari perekonomian global di pertengahan dan akhir tahun. Hal itu disinyalir menjadi salah satu penyebab likuiditas perbankan yang mengetat.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menegaskan likuiditas perbankan saat ini cukup aman. Sebab, OJK selalu mengukur dana perbankan yang ‘parkir’ di Bank Indonesia (BI), treasury, dan surat berharga.
Wimboh juga menambahkan saat ini isu di perbankan adalah segmentasi likuiditas. Ada bank yang punya likuiditas melimpah, dan ada pula bank yang likuiditasnya ketat.
“Kalau 2019 kondisi lebih baik. Sekarang likuiditas kembali normal. LDR naik bisa juga turun dan DPK naik karena rupiah, BI lakukan stabilitas. Likuiditas isu temporary dan ini masalah struktural bukan likuiditas,” jelasnya.
.