Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan potensi risiko ekonomi Indonesia akibat rencana pengenaan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS). Kebijakan ini menyasar negara-negara dengan surplus perdagangan terhadap AS, termasuk Indonesia yang menempati posisi ke-15 dalam daftar tersebut.
“Indonesia termasuk dalam 20 negara dengan surplus perdagangan terbesar ke AS. Artinya, kebijakan tarif ini berpotensi memukul sektor-sektor strategis kita,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita Maret 2025 di Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Ancaman pada Rantai Pasok dan Sektor Digital
Menurut Menkeu, tarif impor AS dapat meningkatkan biaya produksi di sektor manufaktur dan digital. Kedua sektor ini masih bergantung pada impor komponen dan ekspor antarnegara. “Kenaikan biaya logistik dan produksi akan mengganggu efisiensi rantai pasok, terutama di industri berbasis teknologi,” jelasnya.
Tantangan semakin kompleks dengan tingginya volatilitas harga komoditas global dalam sebulan terakhir. Fluktuasi ini disebutkan dapat memicu ketidakstabilan pasar dan mengganggu perencanaan ekonomi nasional.
Sri Mulyani juga menyoroti rapuhnya konsep friendshoring—perdagangan antarnegara sekutu—yang kini dipertanyakan. Ketegangan AS dengan Kanada dan negara lain menunjukkan bahwa aliansi ekonomi tak lagi menjamin keamanan perdagangan. “Dunia sedang mencari formula baru. Friendshoring tak lagi bisa diandalkan,” tegasnya.
Situasi ini mendorong pertumbuhan blok ekonomi alternatif seperti ASEAN dan BRICS. Negara-negara di luar pengaruh AS mulai memperkuat kerja sama untuk mengurangi ketergantungan pada kebijakan ekonomi negara maju.
Dampak pada APBN dan Strategi Antisipasi
Ketidakpastian global berpotensi memengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Fluktuasi harga komoditas dapat mengurangi penerimaan negara dari ekspor, sementara gangguan rantai pasok berisiko meningkatkan defisit perdagangan.
“Kami harus waspada. Setiap gejolak global, seperti tarif AS atau instabilitas pasar, akan berdampak langsung pada APBN,” ujar Sri Mulyani. Pemerintah disebut tengah menyusun strategi untuk memitigasi risiko, termasuk diversifikasi pasar ekspor dan penguatan kerja sama regional.
Meski AS tetap menjadi kekuatan ekonomi terbesar, Sri Mulyani menekankan pentingnya kemandirian Indonesia. “Kebijakan AS pasti memengaruhi dunia, tapi kita tak boleh pasif. Perlindungan sektor domestik dan kolaborasi dengan negara berkembang menjadi kunci,” pungkasnya.
Langkah antisipasi ini diharapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah ketegangan perdagangan global yang semakin panas.