Pada hari Rabu (20/9), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merespons tindakan tragis seseorang yang bunuh diri karena tekanan hutang dari pinjaman online AdaKami. Kasus ini telah mencuri perhatian publik dan memicu reaksi keras. OJK menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan masalah ini dengan serius.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan OJK, Frederica Widyasari, mengonfirmasi bahwa OJK akan memanggil AdaKami untuk mengklarifikasi peran mereka dalam kasus ini. Pertemuan antara OJK dan AdaKami dijadwalkan pada pukul 14.00 WIB pada hari yang sama.
Kasus ini pertama kali mencuat setelah seorang nasabah pinjol bunuh diri, mengaku mendapat ancaman dari debt collector AdaKami. Berita ini kemudian menyebar di media sosial, dengan banyak korban lain melaporkan pengalaman serupa. Ancaman yang mereka terima mencakup penyebaran data pribadi, orderan palsu atas nama mereka dengan pembayaran tunai, dan ancaman terhadap keselamatan keluarga mereka.
Reaksi Netizen Terhadap Kurangnya Tindakan Tegas OJK
Reaksi terhadap kasus ini cukup marak di media sosial, dengan netizen menyoroti kurangnya tindakan dari berbagai pihak berwenang. Beberapa pertanyaan diajukan mengenai legalitas pinjol seperti AdaKami yang terlihat melanggar aturan dalam metode penagihan mereka.
OJK sendiri telah memberikan tanggapan melalui media sosial, menegaskan bahwa Fintech Lending, termasuk pinjaman online, dilarang keras menggunakan metode penagihan berbasis ancaman, teror, atau penyebaran data pribadi. Mereka mengingatkan bahwa mereka memiliki kewenangan untuk mengawasi lembaga keuangan yang berizin oleh OJK.
Reaksi publik di media sosial menyoroti ketidakpuasan terhadap cara penagihan yang dianggap ilegal oleh beberapa pinjol legal yang diawasi oleh OJK. Biaya layanan yang tinggi juga menjadi perhatian.
OJK secara tegas menyatakan bahwa Fintech Lending, termasuk pinjaman online, tidak boleh menggunakan metode penagihan berbasis ancaman, teror, atau penyebaran data pribadi. Masyarakat kembali diingatkan untuk melaporkan tindakan ilegal dari lembaga keuangan kepada otoritas yang berwenang.
Kasus ini menunjukkan perlunya transparansi biaya layanan dalam industri pinjaman online dan kebutuhan untuk penegakan aturan yang ketat untuk melindungi nasabah.