Sejak 2019 pertumbuhan kinerja ekonomi Indonesia melambat. Ini merupakan early warning bagi Indonesia yang tengah menghadapi masa sulit bahkan di ambang resesi ekonomi. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manap Pulungan mengatakan ada beberapa potensial krisis yang akan terjadi pada 2020, yaitu faktor pertama di sektor perdagangan.
“Amerika dan China adalah pemilik Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 35% dari PDB dunia. Trade war Amerika dan China menyebabkan prospek ekonomi global melambat. Tahun lalu AS defisit hingga USD 419 miliar terhadap China. Pada Januari-Agustus 2019 defisitnya mencapai USD231 miliar,” jelasnya di acara INDEF dengan tema Antisipasi Risiko Resesi: Kinerja Ekonomi Triwulan III 2019 di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Kedua di sektor energi, harga minyak dunia jenis WTI dan Brent diprediksi menurun pada 2020, masing-masing USD54,43 dan USD59,93 per barrel. Penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan lalu lintas perdagangan menyebabkan permintaan terhadap energi melambat. Selain faktor supply- demand, gejolak minyak sangat terkait dengan perkembangan geopolitik.
Ketiga perlambatan ekonomi China. Pada 2010 China tumbuh sekitar 10 persen dan melambat menjadi 6,2 persen pada kuartal 3 2019. Penurunan pertumbuhan China berpengaruh terhadap ekonomi global karena porsi PDB-nya mencapai 19 persen dari PDB dunia. Sementara itu porsi ekspor Indonesia ke China sekitar 15 persen.
Faktor keempat adalah lonjakan utang pemerintah. Rasio utang pemerintah terhadap PDB di beberapa negara terutama di Uni Eropa semakin meningkat. Lonjakan utang semakin menyulitkan sektor fiskal karena peningkatan cicilan bunga utang. Faktor kelima risiko sektor keuangan yang muncul dari mulai membanjirnya obligasi China dan potensi krisis AS. Hal itu tercermin dari yield obligasi jangka panjang yang lebih rendah dibandingkan yield obligasi jangka pendek.
Direktur Program INDEF Esther Sri Astuti mengatakan data World Investment Report tahun 2019 menunjukkan foreign direct investment (FDI) terbesar masuk ke negara AS, diikuti China, Hong Kong dan Singapura. Indonesia masuk peringkat top 20 yaitu di ranking 18 dengan aliran FDI masuk sekitar USD 22 billion. Dibandingkan negara-negara di Asia, Indonesia masuk top five yaitu di ranking 5.
Peringkat pertama di Asia diduduki China, diikuti Hong Kong, Singapura, India. Adapun 10 besar negara -negara yang mau menanamkan investasinya di Indonesia yang pertama adalah China, kemudian Hong Kong, AS, Jepang, Singapura, United Kingdom, Belanda, Jerman, Afrika Selatan dan Korea.
Ia menambahkan ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam kemudahan melakukan investasi di Indonesia seperti mengatasi lamanya perijinan baik dalam kemudahan mengawali bisnis, perijinan terkait konstruksi, registrasi properti. Investor merasa biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh listrik juga masih mahal yaitu 252,8 persen dari total pendapatan per kapita dan waktunya relatif lama yaitu 34 hari.
“Selain itu kemudahan memperoleh kredit masih kurang dirasakan investor. Hal ini ditunjukkan oleh Ease of doing business (EODB) dari Getting Credit di ranking 44. Proteksi terhadap investor juga masih kurang ditunjukkan oleh EODB dari Protecting Minority Investors di ranking 51. Pembayaran pajak juga masih membutuhkan waktu 207,5 jam per tahun,” jelasnya.