Jakarta – Salah satu hasil Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) yang dipimpin Presiden Jokowi (Selasa 20/4/2021) memutuskan untuk menyetop impor BBM dan LPG pada tahun 2030.
Menurut Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, keputusan tersebut sangat tepat meski bukan hal baru. Mengingat tekanan defisit transaksi berjalan dari impor migas, khususnya BBM dan LPG sangat kuat.
Mulyanto berharap niat ini dapat dijalankan sungguh-sungguh dan bukan sekedar pepesan kosong. Pemerintah harus berani menghadapi mafia migas yang selama ini mencari untung dari impor migas tersebut.
Tanpa kesungguhan dan komitmen kuat, kata Mulyanto, mustahil niat ini akan terwujud. Apalagi Pemerintahan Jokowi akan berakhir pada tahun 2024.
“Ada empat PR besar Pemerintah untuk mencapai swasembada migas tersebut; meningkatkan lifting migas, membangun kilang baru, konversi BBM dan LPG, serta tingkatkan penghematan migas.
Keempat upaya ini terlihat masih berjalan bisnis as usual, alias jalan di tempat. Belum ada hasil-hasil yang mengejutkan,” ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 22/4/2021.
Soal target lifting minyak misalnya. Mulyanto melihat target yang ditetapkan bukannya naik malah terus anjlok. Sementara realisasi lifting tahunan sering kali tidak tercapai, termasuk di masa sebelum pandemi Covid-19.
“Target lifting 1 juta barel minyak per hari (bph) di tahun 2030 terkesan sekedar wacana, karena investasi di sektor ini tidak beranjak naik,” imbuh Mulyanto.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pada 2020, realisasi investasi hulu migas hanya mencapai US$10,21 miliar dari target sepanjang tahun sebesar US$12,10 miliar. Pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dari 2018-2020, tren Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di migas terus turun per tahunnya, bahkan pada 2020 untuk minyak bumi turun sebesar 51,7 persen dan gas bumi turun 65,6 persen.
“Terkait kilang baru. Kilang Bontang tidak jelas juntrungannya. Pembangunan kilang baru di Tuban, Jawa Timur masih pada tahap pembebasan lahan. Padahal dimulai sejak tahun 2017. Target operasi kilang ini pada tahun 2025 dengan kapasitas produksi sebesar 300.000 bph,” lanjut Mulyanto.
Sementara soal konversi BBM dan LPG, Mulyanto menilai hasilnya belum sesuai harapan. Program introduksi mobil listrik, gasifikasi batubara untuk menghasilkan DME; pengembangan jaringan gas (jargas) dan kompor listrik; termasuk konversi PLTD menjadi PLTG masih belum sesuai dengan target-target yang direncanakan.
“Yang terjadi justru adalah manajemen lapangan atau kilang yang buruk. Belum lama berselang 17/3/2021 terjadi pencurian solar besar-besaran di lapangan Tuban sebanyak 21,5 ton.
Seminggu kemudian Senin 29/3/2021, terjadi musibah kebakaran hebat yang ketiga kalinya di Kilang Pertamina Refinery Unit (RU) VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat, yang meludeskan tiga dari 72 tangki denga total kapasitas 1,35 juta kiloliter.
Lalu dua minggu kemudian kamis 15/4/2021, kembali bocor pipa minyak dekat perairan Karawang di sekitar area BZZA, sumur minyak yang dioperasikan PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ). Bukan hanya minyak yang terbuang percuma, namun terjadi kerusakan lingkungan laut yang meluas.
Kalau begini cara kerja manajemen migas kita, untuk bertahan saja sulit, apalagi mau bebas impor BBM dan LPG.
Pemerintah harus serius, tidak cukup dengan sekedar tebar wacana,” tandas Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.