Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto ingatkan Pemerintah tidak terburu-buru melakukan impor BBM sebelum memaksimalkan hasil eksplorasi dari kilang dalam negeri.
Mulyanto minta Pertamina segera menyelesaikan pembangunan kilang BBM-nya, agar dapat mengoptimalisasi produksi minyak dalam negeri sehingga kebijakan impor bisa dihindari.
Menurut Mulyanto dalam kondisi defisit transaksi berjalan seperti sekarang, Pertamina harus menjadikan impor sebagai opsi paling akhir. Apalagi jika nilai impor BBM itu sangat tinggi.
Demikian tanggapan Mulyanto terhadap paparan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, tentang rencana impor BBM dan gas tahun 2021, yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Pertamina, Selasa (9/2).
Mulyanto minta Pertamina memaksimalkan operasi semua kilang untuk mengolah minyak mentah yang ada. Sebab selama kilang yang ada tidak dimaksimalkan maka selama itu pula Indonesia akan mengimpor BBM olahan.
“Kalau kilang minyak Pertamina beroperasi baik, maka yang akan kita impor cukup minyak mentah sebagai input dari kilang-kilang pengolahan tersebut,” tegas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan saat ini kita sudah menjadi negara net importir minyak.
“Lifting kita sekarang hanya 705 barel per hari, sementara kebutuhannya lebih dari dua kali lipatnya.
Karena itu selain kita harus segera merampungkan kilang-kilang pengolahan minyak, maka kita harus sungguh-sungguh meningkatkan lifting minyak kita menuju 1 juta bph pada tahun 2030,” kata Wakil Ketua FPKS Bidang Industri dan Pembangunan ini.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menyampaikan rencana kerja Pertamina terkait impor BBM. Nicke memperkirakan di tahun 2021 Pertamina akan melakukan impor BBM sebanyak 113 juta barel. Jumlah ini lebih besar 13,5 persen dibanding realisasi impor tahun 2020 yang sebesar 97,8 juta barel.
Nicke menambahkan jenis BBM yang akan diimpor terdiri dari BBM RON 88 (premium) sebanyak 53,7 juta barel dan BBM RON 92 (pertamax) sebanyak 59,3 juta barel.
“Untuk menjaga defisit transaksi berjalan maka Pertamina akan mendorong kuota penjualan BBM non-penugasan (tanpa subsidi) lebih besar daripada BBM penugasan (bersubsidi),” jelas Nicke.
Menanggapi rencana tersebut Mulyanto menyatakan keberatan. Mulyanto minta Pertamina harus memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap BBM bersubsidi, apalagi dalam kondisi pandemi seperti sekarang.
“Pertamina maunya memang demikian karena desakan dari kementerian LHK. Sesuai kesepakatan lingkungan RON rendah seperti Pertalite dan Premium diminta dihapus.
Namun dari kemampuan beli masyarakat bagaimana? Kalau dua jenis BBM tersebut dihapus yang tersisa hanya Pertamax maka tak ada pilihan bagi masyarakat. Yang ada hanya BBM mahal.
Kecuali harga Pertamax turun seharga premium. Ini masyarakat akan happy. Mesin mobilnya bagus, lingkungan terjaga dan harga murah.
Saya menolak penghapusan Premium saat ini di tengah musibah covid dan daya beli ekonomi yg lemah. Karena hanya menyisakan BBM yg berharga mahal. Jangan membebani masyarakat dengan soal ini,” tandas Mulyanto.