Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto minta Presiden Jokowi harus segera bertindak terkait status penambangan batuan andesit di Desa Wadas. Presiden jangan membiarkan kasus ini berlarut-larut hingga menimbulkan dampak sosial yang lebih besar.
“Sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi Presiden perlu menentukan sikap. Jangan sampai masalah penambangan batuan andesit di Wadas ini merembet pada pembangunan Bendungan Bener yang merupakan proyek strategis nasional (PSN),” demikian disampaikan Mulyanto kepada media, Sabtu 19/2/2022.
Mulyanto menilai tambang Wadas dan pembangunan Bendungan Bener adalah dua proyek berbeda. Lokasi kedua proyek itu terpisah sehingga Pemerintah tidak bisa serta-merta menyebut kegiatan penambangan andesit di Desa Wadas merupakan bagian dari PSN Bendungan Bener.
Karena itu Pemerintah harus bijak menyikapi penolakan penambangan andesit oleh warga Wadas. Pemerintah jangan memaksakan kehendak sehingga terjadi bentrokan massa yang fatal.
“Mulanya Pemerintah hanya ingin membangun Bendungan Bener sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun “kebetulan” di Desa Wadas, yang jaraknya hanya 10-11 km dari lokasi PSN Bendungan Bener, ditemukan tampungan batu andesit dengan jumlah cukup besar yaitu sekitar 40 juta meter kubik. Padahal kebutuhan untuk Bendungan Bener hanya 8,5 juta meter kubik.
Melihat kondisi ini maka Pemerintah serta-merta memasukan penambangan andesit di Wadas sebagai PSN,” kata Mulyanto.
Awalnya, lanjut Mulyanto, tambang batuan untuk Bendungan Bener ini akan diambil dari desa lain. Selisih jarak sekitar 5 km bila dibandingkan dengan jarak lokasi Desa Wadas. Bahkan sudah ada lima penambang yang memiliki izin usaha penambangan di kecamatan tersebut. Namun karena di Wadas terdapat kandungan andesit yang besar dan jaraknya lebih dekat Pemerintah langsung mengubah lokasi penyedia batuan andesit itu.
“Dengan pertimbangan efisensi-ekonomis maka diputuskan untuk mengambil batuan andesit dari Desa Wadas dengan cara menetapkan IPL (izin penetapan lokasi) Desa Wadas menjadi satu-kesatuan dengan PSN Bendungan Bener dan berbagai langkah administratif lainnya.
Sayangnya proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan partisipasi masyarakat tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga memunculkan penolakan masyarakat,” terang Mulyanto.
Karenanya, Mulyanto minta Pemerintah jangan sekedar memikirkan aspek efisiensi-ekonomis untuk mendapatkan batuan andesit murah. Namun perlu juga mempertimbangkan aspek sosial kemasyarakat dan lingkungannya.
“Beda dengan kasus penambangan gas di Blok Masela, di Lapangan Gas Abadi di Kepulauan Aru, Maluku. Pemerintah meskipun lebih mahal, karena desakan masyarakat, akhirnya menetapkan penambangan melalui “on-shore” ketimbang “off-shore”. Tujuannya agar dampak penambangan gas ini terhadap perekonomiam masyarakat menjadi lebih besar. Ini yang menjadi inti persoalan,” kata Mulyanto.
“Pembangunan adalah pilihan-pilihan. Persoalannya adalah apakah pilihan yang diambil, sekedar pembangunan fisik yang efisien-ekonomis meskipun dipaksakan dengan cara represif-intimidatif security approach atau pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dengan pendekatan prosperity approach. Filosofi kita mengamanatkan, bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya,” imbuh Mulyanto.
Mulyanto mengutip Pasal 33 UUD NRI 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (ayat 3). Yang dilaksanakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Ayat 4).
“Konstitusi kita sama sekali tidak mengamanatkan pembangunan yang sekedar mengejar kemajuan fisik dengan prinsip efisien-ekonomis, apalagi dengan represi dan intimidasi kepada rakyat. Yang ada adalah prinsip efisiensi berkeadilan, bahkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tegas Mulyanto.