Jakarta – Hasil pantau pemberitaan media daring (online) dan percakapan media sosial yang dilakukan Center for Indonesian Reform (CIR) dan Datasight Indonesia, kepada nama-nama yang diperkirakan akan dijagokan maju sebagai bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada DKI Jakarta menunjukan adanya kejutan.
Beberapa nama politisi nasional yang sebelumnya ramai disebut-sebut sebagai sebagai calon ternyata tidak begitu banyak muncul dalam pemberitaan online maupun percakapan media sosial. Sebaliknya beberapa nama yang sebelumnya tidak pernah dikaitkan dengan hajat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI malah muncul sebagai kuda hitam.
CIR dan Datasight Indonesia melakukan pemantauan isi berita online dan percakapan media sosial dalam jangka waktu 1-31 Januari 2022. Hasilnya terdapat 33.699 pemberitaan online dan percakapan media sosial yang menyebut nama-nama yang sering dijagokan sebagai bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur di ajang Pilkada tahun 2024.
Adapun nama-nama yang muncul dalam pemantauan tersebut terdiri dari Mardani Ali Sera (20,76%), Ahmad Riza Patria (15,56%), Ahmad Sahroni (14,32%), Tri Rismaharini (13,38%), Gibran Rakabuming Raka (16,60%), Bahlil Lahadalia (9,52%), Basuki Thajaja Purnama (8,23%), Ahmad Zaki Iskandar (2,49%), Bima Arya Sugiarto (1,35%) serta Airin Rachmi Diany (0,79%).
Direktur Datasight Indonesia Radhiatmoko menjelaskan hasil monitoring media tersebut menunjukan bahwa level kegiatan politik seseorang sangat berpengaruh terhadap besaran pemberitaan. Tokoh politik yang berkiprah di tingkat nasional lebih banyak diberitakan dan dibicarakan oleh warganet dibanding tokoh lokal. Isu yang menjadi pusat perhatian tokoh nasional itu pun beragam mulai dari isu kesehatan (Covid 19), kenaikan harga monyak goreng, perpindahan Ibu Kota Negara baru, radikalisasi dan isu besar lainnya.
Sementara pemberitaan tokoh lokal menjadi terbatas karena isu yang dibahas dan diberitakan juga sangat lebih kecil. Tokoh-tokoh lokal ini biasanya muncul dalam pemberitaan bila ada peristiwa besar yang terjadi di wilayah kepemimpinannya.
“Kesepuluh nama itu muncul karena partai atau kelompok pendukungnya selalu mengaitkan dengan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta. Wakil Gubernur petahana Ahmad Riza tentu didukung Gerindra, tapi kelihatannya hanya ingin posisi tetap sebagai Cawagub. Nama Risma dan Gibran disuarakan pengurus PDIP dan mungkin mendapat restu istana negara, disamping nama lain Basuki alias Ahok dan Bahlil pendatang baru.
PKS belum bersuara resmi tentang Cagub DKI, namun publik menyebut sosok Mardani. Sementara Nasdem mengajukan Sahroni dan Golkar menimbang-nimbang Ahmed Zaki atau Airin. Nama-nama lain berseliweran, mungkin akan terjadi kejutan di akhir masa pendaftaran Pilkada,” jelas Radiathmoko.
Radiathmoko menambahkan nama Mardani berkibar terutama dalam pemberitaan media online (6.176 data) dan cuitan Twitter (817). Semantara di kanal lain seperti Youtube, FB dan IG masih minim. Sentimen pemberitaan dan perbincangan tentang Mardani menunjukan 55,49% sentimen positif, 27,94% sentimen negatif dan netral (16,57).
“Tetapi fokus pemberitaan dan percakapan tentang Mardani belum membangun personal branding yang kuat atau afiliasi politik PKS. Penggunaan hestek untuk mendongkrak popularitas juga lemah, malah terasosiasi dengan PD dan AHY.
Sementara Ahmad Riza cukup terukur kinerjanya dengan 5.151 data pemberitaan dan 92 cuitan. Sebagian besar netizen (59,91 persen) bersentimen positif. Sekitar 27,90 persen negatif dan 12,19 persen netral. Personal branding Riza Patria cukup kuat dalam pembentukan isu publik, dalam hal pengendalian Covid varian omicron dan afiliasi partai. Para buzzer pendukung juga cukup aktif menaikkan tagar #ahmadrizapatria dan #wagubdkijakarta,” ungkap Radhiatmoko.
“Tokoh muda Nasdem, Sahroni cukup aktif di pemberitaan (3.094) dan twitter (1.708). Sebagian besar positif (42,43 persen) dan netral (37,79), sedang negatif (19,78). Branding afiliasi ke partai lebih kuat ketimbang personal. Kemungkinan pendukung di dunia maya terkoneksi dengan komunitas KPoppers, karena tagar #Moonbin dan #PemiluAroha2022 terdeteksi,” imbuhnya.
Melihat minimnya pemberitaan dan perbincangan netizen Indonesia terkait nama seperti Risma, Ahok dan Gibran, dosen Antropologi Digital Univeristas Indonesia itu menjelaskan bahwa warga Jakarta dikenal cukup kritis sehingga nama-nama kontroversi itu tak begitu menonjol. Banyak kontroversi yang mengitari tokoh-tokoh itu sehingga netizen justru banyak yang bersentimen negatif.
“Para pendukung fanatik Ahok (Ahoker) tampak belum terkonsolidasi, sehingga personal branding Komisaris Utama Pertamina itu tidak terbangun. Tak aneh, bila nama Ahok justru muncul sebagai calon Kepala Otorita Ibu Kota Negara di Kalimantan, sebab peluang politik di Pilkada DKI sangat rendah.
Hal serupa terjadi pada sosok Gibran, Walikota Solo yang terlalu berisiko apabila nekad maju ke Pilkada DKI Jakarta. Dalam anekdot politik, DKI Jakarta ibaratnya “dapil neraka”, hanya politisi kawakan yang berani bertanding,” terang Radhiatmoko.
Radhiatmoko menegaskan hasil monitoring media online (pemberitaan) dan media sosial (percakapan) ini hanya mewakili persepsi sebagian populasi. Jumlah netizen tidak terlalu besar secara nasional, namun bagi kota besar seperti Jakarta sangat menentukan. Ini bisa jadi sinyal kecenderungan politik jangka dekat.