Kaukus Perempuan Parlemen Minta RUU PKS Disahkan

Ada kesenjangan sistem hukum. Aturan yang ada tidak berorientasi kepada hak korban tetapi kepada tersangka. Dalam KUHP misalnya, aturan yang ada belum menyediakan skema perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, berkualitas dan berkelanjutan.

0
337
Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen (KPP-RI) Luluk Nur Hamidah. (Dok: dpr.go.id)
Pojok Bisnis

Jakarta – Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen (KPP-RI) Luluk Nur Hamidah berharap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dapat segera disahkan. Aturan tersebut sangat dibutuhkan, sebab sudah menjadi bagian dari komitmen dan tugas konstitusi untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali.

Hal itu disampaikan dalam webinar Badan Keahlian DPR RI bertajuk ‘Bergerak Bersama Mewujudkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual’, Selasa (9/3/2021).

“Forum seperti ini jadi sangat penting, semangatnya sama yaitu bagaimana kita bisa mendorong agar RUU ini bisa pungkas atau disahkan. Kita tidak ingin sudah dibahas berlama-lama tetapi batal dan didrop dari daftar prolegnas. Saat ini memang belum sampai pembahasan karena belum diputuskan. RUU merupakan produk politik, sehingga tidak dapat dipungkiri ada banyak kepentingan yang berkelindan,” kata Luluk melalui video conference.

Lebih lanjut, politisi PKB itu mengaku optimis akan adanya semangat kuat dari semua pihak yang terlibat dalam penyusunan rancangan aturan tersebut. Mengingat RUU PKS diperlukan mengingat belum adanya aturan perundang-undangan yang komprehensif dan detail mengatur kekerasan seksual.

PT Mitra Mortar indonesia

“RUU PKS memang belum mulai dibahas karena belum diputuskan. RUU ini tidak dapat dipungkiri adalah sebagai produk politik, sehingga jangan sampai ada kepentingan politik yang berkelindan, karena kalau ditarik terlalu politis maka ini akan nggak jadi. Kita harapkan ini ditingkatkan dari sekedar sikap politis, menjadi sikap negarawan untuk memberikan perlindungan kepada perempuan,” pungkas Anggota Komisi IV DPR RI itu.

Turut menjadi pembicara dalam webinar tersebut, Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono mengungkap adanya kekosongan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual. Meski sudah ada aturan seperti KUHP, UU Penghapusan KDRT dan UU PTPO, namun belum bisa mengakomodir 15 definisi kekerasan seksual yang ditetapkan oleh Komnas Perempuan. Hanya beberapa jenis kekerasan yang sudah diatur, dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas.

“Ada kesenjangan sistem hukum. Aturan yang ada tidak berorientasi kepada hak korban tetapi kepada tersangka. Dalam KUHP misalnya, aturan yang ada belum menyediakan skema perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, berkualitas dan berkelanjutan. Terdapat kekosongan perlindungan hukum sebab hanya beberapa jenis kekerasan seksual yang sudah diatur,” kata Dosen FH UGM itu.

Hasil penelitian UN Women pada 2019 menyatakan adanya judicial streotyping atau berupa peradilan yang tidak independen, menyangkal keterangan korban, memberi stigma atau menyalahkan. Sri Wiyanti mengatakan hal tersebut menimbulkan kesongan perlindungan hukum selanjutnya. Menurutnya, kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan sulit diproses secara hukum dan hukumannya rendah, kecuali kasus degan korban anak.

“RUU ini ditunggu-tunggu dan dinanti-nanti sebab banyaknya kasus kekerasan seksual sulit diproses secara hukum dan hukumannya rendah. Belum lagi adanya perdamaian atau cara kekeluargaan dan adat sangat berdampak pada proses hukum kasus kekerasan seksual tidak dilanjutkan. Hanya 10 persen kasus yang diproses di kepolisian dan tidak lebih dari setengahnya yang divonis pengadilan,” lanjutnya.

RUU PKS nantinya akan berfungsi sebagai hukum pidana khusus. Sebab pengaturan delik-delik atau bentuk-bentuk kekerasan seksual dianggap lebih jelas dan lebih dalam jika dibandingkan dengan RKUHP atau aturan lainnya. Kemudian, hukum acara memiliki kekhususan dalam proses pelaporan, penyidikan, penuntuntan persidangan dan pasca putusan. Serta sebagai pencegahan non penal policy.

Hak-hak yang dilindungi dalam RUU PKS, termasuk hak-hak korban dan keluarganya meliputi hak atas penanganan, hak atas perlindungan, hak atas pemulihan termasuk pemulihan pasca putusan pengadilan hingga hak atas ganti rugi. Selanjutnya, RUU PKS akan menjalankan sistem peradilan pidana terpadu mulai dari proses pelaporan, penyidikan, penuntutan hingga persidangan.

Ruang lingkup RUU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi pencegahan, penanangan-perlindungan-pemulihan korban, penindakan pelaku, kerja sama-koordinasi antar lembaga dan pendanaan, pengawasan atau pemantauan, dan partisipasi masyarakat. Sementara, tindak pidana kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

“Sudah tidak ada alasan lagi bagi RUU PKS untuk tidak didiskusikan. Kita butuh RUU ini untuk menjadikan negara kita menjadi negara yang lebih baik dan memberikan perlindungan bagi perempuan. Sanksi yang ada saat ini hanya penjara, padahal untuk kekerasan seksual tidak cukup dengan pidana melainkan harus ada rehabilitasi dan mitigasi sehingga kasus serupa tidak berulang kembali,” pungkasnya.

Hadirnya RUU PKS dinilai penting, sebab mampu mendefinisikan kejahatan-kejahatan yang belum dimasukkan sebagai kekerasan seksual menjadi kekerasan seksual yang dapat dipidana atau kriminalisasi. Selain itu, mampu menyeimbangkan sistem hukum sesuai amanat konstitusi, memberi perlindungan kepada korban mencapai keadilan yang selama ini diabaikan, adanya perlindungan khusus kepada kelompok rentan diskriminatif. Sekaligus, merevisi konsepsi hukum pidana dan pemidanaan yang memidanakan pelaku secara manusia.

DISSINDO
Top Mortar Semen Instan